Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengungkapkan berbagai tantangan yang dihadapi oleh dunia pers saat ini baik dari aspek konten pemberitaan maupun dari aspek bisnis.
Dalam aspek konten, selain hoaks dan satu di antaranya kata Ninik adalah propaganda yang sengaja dirancang untuk memanipulasi publik dan seringkali menyesatkan.
Menurutnya daya kritis penting dipupuk agar masyarakat yakin bahwa informasi yang benar bisa didapatkan dari pers, bukan dari media sosial.
Selain itu, lanjutnya, agar publik juga mendasarkan pilihannya pada hasil kerja jurnalistik yang berkualitas, bukan pada informasi di media sosial yang berpotensi menghasilkan misinformasi.
Hal itu disampaikan Ninik dalam Seminar Nasional Bertajuk Jurnalisme Versus Artificial Intelligence (AI) yang disiarkan langsung di kanal Youtube Dewan Pers pada Rabu (11/12/2024).
"Dari aspek konten, kita semua sudah saling bergandeng tangan, meskipun tidak pernah ada istilah kata berhenti untuk saling bergandeng tangan menghadirkan konten yang mendalam, spesifik, dan menarik, dan di era digital ini kita harus memupuk daya kritis kita," kata Ninik.
"Kenapa? Daya kritis kita harus bisa diadu dengan berbagai propaganda yang secara sengaja dirancang untuk memanipulasi opini publik yang seringkali menggunakan informasi yang menyesatkan," sambungnya.
Ia memandang, berpikir kritis dapat digunakan untuk mengidentifikasi propaganda dengan berbagai strategi.
Setidaknya, menurut dia, ada lima strategi berpikir kritis di era digital saat ini.
Pertama, kata Ninik, adalah kritis dalam menilai tujuan.
Propaganda, jelasnya, seringkali memiliki agenda yang jelas yaitu membujuk audiens untuk mengadopsi keyakinan tertentu atau mengambil tindakan tertentu.
"Orang yang berpikir kritis akan mempertanyakan tujuan dari sebuah informasi. Siapa yang akan mendapatkan manfaat dari informasi ini? Menyesatkan atau tidak? Manipulatif atau tidak?" ujar Ninik.
Kedua, kata Ninik, mencari manipulasi emosional.