Propaganda, ungkapnya, sering mengandalkan emosi sebagai daya tariknya apakah itu emosi yang mengarah pada ketakutan, patriotisme, kemarahan.
Untuk itu, manipulasi emosi tersebut perlu dibandingkan dengan argumentas atau fakta logis.
"Orang berpikir kritis dapat mengenali ketika sebuah pesan menggunakan manipulasi emosional untuk mengaburkan nilai-nilai yang sebaiknya yang sifatnya rasional," ujar Ninik.
Ketiga, lanjutnya, berpikir kritis dengan cara menemukan narasi yang seringkali oleh media sosial terlalu disederhanakan.
Propaganda, kata Ninik, cenderung menyajikan masalah komplek dalam istilah yang sederhana dan menawarkan jawaban mudah untuk masalah yang rumit.
Selain itu, menurutnya berpikit kritis akan mendorong publik memeriksa lebih dalam lagi agar suatu masalah betul-betul sesuai dengan konteks kebenaran.
Keempat, ujar dia, mencermati pengulangan.
Propaganda, kata Ninik, sering mengulangi pesan tertentu berulang-ulang dengan harapan pengulangan akan membuat sesuatu menjadi tampak seolah benar.
"Orang yang berpikir kritis akan mempertanyakan apa motif di balik pengulangan tersebut," sambung dia.
Kelima, mengevaluasi penggunaan stereotipe.
Propaganda sering menggunakan citra atau stereotipe umum untuk menciptakan mentalitas "kita vs mereka".
Seorang pemikir kritis, kata Ninik, akan menentang stereotipe tersebut, karena tidak selalu kita versus mereka, tapi kadang-kadang kita bisa berkolaborasi dengan mereka.
"Itu dari aspek konten. Betapa tantangan kita salah satunya dengan strategi berpikir kritis menghadapi AI dan digital dan macam-macam ini harus tetap digunakan," sambungnya.
Sementara itu, dari aspek bisnis menurutnya ada hal yang perlu didiskusikan lebih dalam di antaranya adalah kerja sama dalam menyajikan pemberitaan dalam multiplatform sekaligus.