TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja dipecat dari PDI Perjuangan, partai yang membawanya ke puncak kekuasaan.
Keputusan tersebut, diambil oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, disebut akan kembali menghangatkan panggung politik Indonesia.
Dalam pemecatan ini, Jokowi tidak sendirian.
Ia bersama 26 kader lainnya, termasuk putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, dan menantunya, Bobby Nasution, dinyatakan telah melanggar kode etik dan disiplin partai.
“Terhitung setelah dikeluarkannya surat pemecatan ini, maka DPP PDIP tidak ada hubungan dan tidak bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukan oleh saudara Joko Widodo,” kata Ketua DPP PDIP Bidang Kehormatan Komaruddin Watubun, Senin (16/12/2024).
Jokowi dan PDIP telah berseberangan arah menjelang Pilpres 2024.
Di saat PDIP mengusung pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, Jokowi justru mendorong Gibran untuk maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Dukungan Jokowi terhadap pasangan ini menunjukkan bahwa ia memiliki visi politik yang berbeda, dan ini menjadi sumber ketegangan antara dirinya dan partai yang membesarkannya.
Keputusan politik Jokowi tidak hanya membuatnya dimusuhi oleh PDIP, tetapi juga menciptakan suasana yang lebih rumit di dalam panggung politik nasional.
Hubungan yang telah terjalin lama kini telah berubah menjadi perseteruan, dan sikap Jokowi menjadi lebih tegas dan independen.
Kini, spekulasi beredar mengenai di mana Jokowi akan berlabuh setelah meninggalkan PDIP.
Partai-partai seperti Golkar dan Gerindra dikabarkan membuka pintu lebar-lebar untuknya.
"Semua partai terbuka. Belum ada rencana gabung ke parpol," ungkap Jokowi saat ditanya oleh wartawan di kediamannya di Solo pada 9 Desember 2024.
Kata-kata Jokowi menunjukkan bahwa meskipun ada tawaran, ia masih belum membuat keputusan final.
Ini adalah momen penting yang bisa menjadi titik balik dalam karier politiknya, dan tentu saja menciptakan harapan serta kecemasan bagi banyak pihak.
Apakah Jokowi akan menemukan tempat baru yang bisa mendukung ambisi dan visi politiknya?
Atau akankah ia lebih memilih untuk mengambil langkah lebih berani dengan mendirikan partai politik sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan ini akan terus bergulir seiring berjalannya waktu, dan semua mata kini tertuju pada langkah selanjutnya dari sosok yang selama ini dianggap sebagai simbol stabilitas politik di Indonesia.
Gabung Gerindra?
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (9/12/2024), mengatakan, dalam pertemuan itu, tidak dibahas secara spesifik mengenai ke mana Jokowi setelah tak lagi menjadi bagian dari PDI-P.
Meski demikian, Muzani menegaskan, Gerindra merupakan partai yang terbuka. Siapa pun bisa masuk ke Gerindra, apalagi Jokowi.
”Partai terbuka itu artinya kami terbuka dengan (siapa pun), jangankan orang dengan sekaliber Pak Jokowi sebagai mantan presiden yang memiliki jasa dan ketokohan yang semua orang sudah mengakui,” ujar Muzani.
Jika Jokowi memilih bergabung dengan Gerindra, Muzani melanjutkan, seluruh kader pasti akan menyambutnya. Sebab, bagi Gerindra, bergabungnya Jokowi merupakan sebuah kehormatan.
”Jika beliau mau bergabung tentu bagi kami kehormatan yang amat besar. Karena itu, kami merasa mendapatkan kehormatan. Itu saja,” ucap Muzani.
Golkar buka pintu
Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Muhammad Sarmuji memastikan pihaknya tetap membuka pintu untuk Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi jika ingin bergabung ke Golkar usai dipecat dari PDIP.
"Kita tunggu saja langkah Pak Jokowi selanjutnya. Jika setelah mempertimbangkan segala hal Pak Jokowi masuk ke Golkar, sebagai partai terbuka, tidak ada halangan bagi Golkar untuk menerima beliau dengan tangan terbuka," ujar Sarmuji kepada wartawan, Senin (16/12/2024).
Namun, Sarmuji tidak mau berkomentar apa-apa soal pemecatan Jokowi oleh PDIP.
"Itu menjadi urusan partai lain. Kami tidak bisa campuri," tandasnya.
Gerindra atau Golkar?
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menduga, ada sejumlah langkah politik yang kemungkinan akan diambil oleh Jokowi setelah tidak lagi menjadi bagian dari PDI-P. Salah satunya, Jokowi masuk ke Gerindra.
Adi menilai, Gerindra jauh lebih menggiurkan bagi Jokowi karena Gerindra sebagai partai pemenang pilpres memiliki kekuatan politik yang luar biasa.
”Secara alamiah, siapa pun politisi di negara ini ngiler bergabung dengan partai penguasa. Dalam konteks itu, sangat rasional Jokowi ke Gerindra. Setidaknya, Jokowi punya backing politik jangka panjang, terutama untuk memproteksi diri dari serangan PDI-P dan kelompok kritis,” ujarnya.
Namun, problemnya, ujar Adi, jika Jokowi bergabung ke Gerindra, Jokowi tak bisa berharap menjadi bintang dan king maker.
Sebab, bintang dan king maker di Gerindra hanyalah Prabowo, bukan yang lain.
”Sementara ada kecenderungan Jokowi masih ingin terlihat jadi bintang dan king maker di masa mendatang, terutama untuk mementori Gibran. Di situlah, dilemanya Jokowi kalau ke Gerindra,” katanya.
Kemungkinan lain, Jokowi menjadi kader partai lain di luar Gerindra, seperti Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Pilihan ini memang sepintas terlihat menarik. Sebab, artinya, Jokowi akan masih punya bargain politik yang kuat ke depan, apalagi Gibran juga masih menyandang sebagai wapres.
”Itu artinya, partai apa pun yang terima Jokowi bisa dipastikan punya wapres yang secara politik prestisius. Namun, sekali lagi, tak ada jaminan bagi Jokowi bisa menjadi king maker jika bergabung di antara dua partai itu,” tutur Adi.
Kemungkinan terakhir adalah Jokowi tak bergabung ke partai mana pun.
Menurut Adi, jika opsi ini yang dipilih, justru akan lebih baik.
Sebab, ini untuk menepis anggapan bahwa Jokowi hanya akan mendompleng partai yang sudah mapan setelah tak lagi menjadi presiden dan bukan menjadi bagian dari PDI-P.
”Jokowi bisa tunjukkan kekuatan politiknya tanpa dompleng partai lain. Ini semacam pembuktian kehebatan Jokowi setelah tak lagi di PDI-P. Pembuktian bahwa Jokowi masih hebat mesti tak bersama partai lain,” kata Adi.