TRIBUNNEWS.COM - Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, buka suara soal putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari tujuh terpidana kasus pembunuhan terhadap Vina dan pacarnya, Eky.
Reza mendesak, berkaca dari putusan MA tersebut, perlunya peninjauan kembali atau judicial review agar terdakwa bisa mengajukan barang bukti ketika sidang.
Desakan ini, sambungnya, berkaca dari bebasnya atlet sepak bola Amerika atau American football, Orenthal James Simpson atau OJ Simpson, yang didakwa telah membunuh istrinya, Nicole Brown Simpson, pada 1993 silam.
Dari persidangan yang digelar tersebut, Reza mengungkapkan OJ Simpson bisa divonis bebas karena mengajukan bukti sendiri untuk dibandingkan dengan bukti yang disodorkan oleh penyidik.
Adapun hal tersebut dilakukan kubu OJ Simpson dengan cara pemberian akses kepada dirinya selaku terdakwa untuk menguji barang bukti yang dihadirkan penyidik dalam persidangan.
Hal ini, kata Reza, memang diperbolehkan dalam sistem hukum di Amerika Serikat (AS).
OJ Simpson pun dinyatakan bebas karena hakim lebih yakin dengan bukti yang diajukan olehnya ketimbang bukti dari penyidik.
"(Bukti) jaksa menggunakan DNA untuk meyakinkan hakim bahwa pelaku pembunuhan adalah tak lain tak bukan adalah OJ Simpson."
"Namun, mekanisme hukum di Amerika Serikat, memungkinkan OJ Simpson alias terdakwa untuk mengakses barang bukti tersebut."
"Sehingga, OJ Simpson melakukan uji tandingan atau cross examination terhadap barang bukti yang sama. Dengan demikian, di ruang sidang dihadirkan dua versi pembuktian saintifik."
"Putusan hakim apa? Ternyata, hakim dalam kasus ini, lebih teryakinkan oleh pengujian saintifik oleh terdakwa sendiri sehingga OJ Simpson diputus bebas," bebernya, dikutip dari YouTube Nusantara TV, Selasa (17/12/2024).
Baca juga: Video Celah Hukum di Balik Penolakan PK Kasus Vina, Kriminalisasi di MA Kembali Diungkit
Reza pun menyayangkan cara semacam itu tidak tersedia dalam sistem hukum di Indonesia.
Pasalnya, dalam sistem hukum Indonesia, Reza mengatakan seluruh barang bukti yang tersedia pada suatu kasus dikuasai oleh penyidik.
Padahal, kata Reza, jika cara tersebut dipakai, maka terwujudlah kesetaraan di mata hukum.
"Sehingga prinsip fairness atau kesetaraan di hadapan hukum praktis bisa kita perdebatkan. Karena, barang bukti itu yang perlu diuji secara saintifik itu dikuasai sepenuhnya oleh penyidik dan tidak bisa diakses dengan mudah oleh terdakwa dalam rangka cross examination."
"Itu artinya di ruang sidang yang mulia itu, praktis hanya disodorkan satu versi hasil saintifik yaitu versi penyidik. Terdakwa tidak bisa menyajikan uji saintifik tandingan yang bisa dipertimbangkan oleh hakim," tegas Reza.
Terkait hal ini, Reza mengaku sudah mengusulkan kepada beberapa advokat agar melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait terdakwa bisa mengajukan barang bukti sendiri saat persidangan.
Dia mengungkapkan hal tersebut perlu dilakukan semata-mata demi terwujudnya keadilan di mata hukum.
"Saya sampaikan saran saya, sebelum PK, akan sangat konstruktif apabila teman-teman advokat mengubah aturan main di Indonesia ini yaitu lewat judicial review dulu di Mahkamah Konstitusi."
"Agar akses terhadap barang bukti betul-betul dibuka oleh kedua belah pihak yaitu bagi penyidik yang lalu ditindaklanjuti oleh jaksa dan juga dibuka oleh terdakwa," tegasnya.
MA Tolak PK 7 Terpidana Kasus Vina
MA mengumumkan menolak PK yang diajukan tujuh terpidana kasus Vina Cirebon pada Senin (16/12/2024).
Juru Bicara MA, Yanto, menyampaikan alasan adanya bukti baru atau novum dan kekhilafan hakim tidak terbukti dalam proses persidangan.
“Pertimbangan majelis dalam menolak permohonan PK tersebut antara lain tidak terdapat kekhilafan judex facti dan judex juris dalam mengadili para terpidana,” kata Yanto dalam konferensi pers di Gedung MA, Jakarta.
Selain itu, kata Yanto, bukti baru yang diajukan oleh para terpidana bukan merupakan bukti baru sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 Ayat (2) huruf a KUHAP.
“Dengan ditolaknya permohonan PK para terpidana tersebut, maka putusan yang dimohonkan PK tetap berlaku,” ucapnya.
Delapan permohonan PK itu terbagi dalam tiga perkara. Pertama, teregister dengan nomor 198/PK/PID/2024 dengan terpidana atas nama Eko Ramadhani dan Rivaldi Aditya.
Kemudian, PK lima terpidana atas nama Eka Sandy, Hadi Saputra, Jaya, Sudirman, dan Supriyanto yang teregister dengan nomor 199/PK/PID/2024.
Baca juga: Pengacara Iptu Rudiana Minta Terpidana Kasus Vina Cirebon Bertobat usai PK Ditolak MA
Selain itu, ada perkara eks narapidana anak dengan nomor 1688 PK/PID.SUS/2024 atau Saka Tatal yang diadili oleh Hakim Agung Prim Haryadi.
Adapun perkara Eko Ramadhani dan Rivaldi Aditya diadili oleh Ketua Majelis PK Burhan Dahlan serta dua anggota majelis, Yohanes Priyana dan Sigid Triyono.
Majelis PK atas nama Eka Sandi, Hadi Saputra, Jaya, Sudirman, dan Supriyanto yaitu Burhan Dahlan serta dua anggota majelis, Jupriyadi, dan Sigid Triyono.
Dalam kasus ini, total ada delapan orang terpidana. Tujuh di antaranya divonis penjara seumur hidup.
Sementara itu, Saka Tatal dihukum delapan tahun penjara. Saka Tatal kini sudah bebas murni.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait Kematian Vina Cirebon