TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PDI Perjuangan meradang.
Sejumlah spanduk dan baliho bertebaran di seantero Jakarta.
Isinya mendiskreditkan Megawati Soekarnoputri.
Jabatan Ketua Umum PDIP yang disandang putri sulung Proklamator RI sekaligus Presiden Pertama RI Soekarno itu disebut ilegal.
Pasalnya, Kongres PDIP untuk memilih pengurus baru yang seharusnya digelar tahun 2024 ini diundur ke tahun 2025 nanti gegara ada Pemilihan Umum Legislatif/Presiden serta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di tahun 2024 ini.
Baliho-baliho dan spanduk-spanduk yang mendiskreditkan Megawati itu disinyalir sebagai intervensi pihak luar atau eksternal untuk mengobok-obok PDIP guna menjegal Megawati yang akan maju lagi sebagai calon ketua umum di Kongres PDIP 2025 nanti.
Megawati pun menetapkan Status Siaga 1 di internal partainya terkait upaya cawe-cawe pihak luar terhadap PDIP tersebut.
Pertanyaannya, apakah mayoritas pemilik suara kongres, yakni Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP di provinsi-provinsi, dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) di daerah-daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia masih menghendaki Megawati menjadi ketua umum lagi?
Bukankah Presiden ke-5 RI itu sudah cukup lama menduduki kursi Banteng-1, bahkan merupakan yang terlama di antara ketua umum-ketua umum partai politik lainnya di Indonesia?
Tercatat sejak 1993 Megawati memimpin PDI yang kemudian pasca-Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 atau Kudatuli bertransformasi menjadi PDIP.
Ihwal legalitas PDIP sebagai parpol di Indonesia serta keabsahan Pengurus PDIP yang diperpanjang dari 2024 menjadi 2025 sudah diutarakan Ketua DPP PDIP Bidang Reformasi Sistem Hukum Nasional Ronny Talapessy dalam konferensi pers di Kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro 58 Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (19/12/2024) malam.
PDIP, kata Ronny, adalah partai politik yang sah sesuai Akta Notaris Nomor 05 Tanggal 27 Juni 2024 dan telah mendapatkan pengesahan melalui Surat Keputusan dari Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: M.HH-05.11.02 Tahun 2024 tertanggal 1 Juli 2024 tentang Pengesahan Perubahan Struktur, Komposisi, dan Personalia Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Masa Bakti 2019-2024 Diperpanjang Hingga Tahun 2025.
“Keabsahan ini tidak terbantahkan dan menjadi dasar kuat bagi PDI Perjuangan dalam menjalankan tugas politiknya,” ujarnya.
Selain itu, kata Ronny, perpanjangan masa kepengurusan DPP PDIP telah dilaksanakan sesuai dengan Pasal 28 Anggaran Dasar Partai dan Pasal 15 Anggaran Rumah Tangga Partai, di mana perpanjangan masa kepengurusan menjadi kewenangan prerogatif Ketua Umum yang diamanatkan oleh Kongres Partai serta ditetapkan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V PDI Perjuangan Tahun 2024.
Apakah Megawati masih dikehendaki mayoritas pemilik suara di kongres, dan apakah aturan internal partai memperbolehkan istri mendiang Taufiq Kiemas itu untuk menjadi ketua umum ke enam kalinya?
Ketua DPP PDIP lainnya, I Made Urip pun angkat bicara.
Secara normatif, kata MU panggilan akrabnya, tak ada larangan di AD/ART PDIP bagi siapa pun kader yang akan maju sebagai calon ketua umum.
"Juga tak ada pembatasan berapa periode," ujarnya.
Apakah Megawati masih dikehendaki mayoritas pemilik suara kongres? MU tak mau berandai-andai.
Ia hanya menyarankan publik untuk melihat fakta di lapangan, dan juga di arena Kongres PDIP 2025 nanti.
"Mayoritas DPC dan DPD sih masih menginginkan Ibu Megawati," jelas MU.
Bahkan, jika Megawati maju lagi, MU yakin ibu dari Ketua DPR Puan Maharani itu akan terpilih kembali secara aklamasi sebagaimana dalam Kongres V PDIP di Bali tahun 2019 lalu.
"Aklamasi tidak berarti tidak demokratis, lho. Aklamasi juga demokratis," cetus MU yang juga mantan anggota DPR selama lima periode (1999-2004, 2004-2009, 2009-2014, 2014-2019 dan 2019-2024).
PDIP, lanjut MU, adalah parpol yang mengutamakan musyawarah mufakat serta kegotong-royongan, dan pemilihan ketua umum secara aklamasi itulah wujud dari musyawarah mufakat dan kegotong-royongan itu.
Bahkan MU mengklaim, pemilihan secara aklamasi itulah yang paling sesuai dengan amanat sila ke-4 Pancasila, yakni "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan".
"Bukan voting atau pemungutan suara 'one man one vote' (satu orang satu suara) yang cenderung ke sistem demokrasi liberal," tukas pria "low profile" asal Bali ini.
Sebab itu, MU mengingatkan pihak eksternal untuk tidak cawe-cawe, intervensi atau ikut campur urusan internal partainya, karena di PDIP ada semacam "local wisdom" atau kearifan lokal yang tidak semua parpol memilikinya, khususnya dalam memilih ketua umum yang lebih mengutamakan musyawarah mufakat dan kegotong-royongan, yang lebih relevan dengan amanat sila ke-4 Pancasila.
"Sekali lagi, aklamasi bukan berarti tidak demokratis," tegas Ketua DPP Bidang Koperasi dan UMKM yang identik dengan kekeluargaan dan kegotong-royongan ini.
Di sisi lain, MU juga mengajak seluruh jajaran pengurus DPP, DPD, DPC, PAC dan Ranting serta seluruh kader PDIP di mana pun berada untuk tetap solid bahkan meningkatkan soliditasnya menghadapi upaya cawe-cawe dan obok-obok dari pihak luar menjelang Kongres PDIP 2025.
"Jadikan ini semacam 'blessing in disguise' (berkah di balik musibah). Kita jadikan upaya obok-obok pihak eksternal itu sebagai 'common enemy' (musuh bersama) untuk menguatkan soliditas partai," tandasnya.
Bagi MU, Megawati adalah sosok pemersatu partainya, dan sejauh ini belum ada tokoh sekaliber presiden wanita pertama Indonesia itu di kalangan internal, sehingga sangat layak jika Megawati dipilih kembali sebagai Ketua Umum PDIP dalam Kongres 2025 mendatang, termasuk jika pemilihan itu dilakukan secara aklamasi.