News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Judi Online

Legislator PKS Minta Presiden Dorong Kejagung dan BPK Sita Dana Judi Online di Lembaga Keuangan

Penulis: Reza Deni
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol). Sekjen PKS mendorong Presiden Prabowo memerintahkan Kejagung dan BPK segera menyita dana judol yang dinikmati perbankan,e-wallet serta operator seluler. 

Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) diu DPR RI mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melacak aliran dana judi online (judol) senilai Rp 187,2 triliun yang diduga dinikmati perbankan, e-wallet dan operator seluler.

Hal ini juga merujuk dari kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menyisakan banyak persoalan hingga kini.

Anggota Komisi III DPR bidang hukum, Habib Aboe Bakar Al-Habsyi menilai, kasus seperti BLBI menjadi pelajaran penting agar penanganan aliran dana judol di lembaga keuangan dilakukan lebih cepat dan akuntabel.

Aboe mendorong Presiden Prabowo memerintahkan Kejagung dan BPK segera menyita dana judol yang dinikmati perbankan,e-wallet serta operator seluler. 

"Penyitaan duit judol di perbankan, e-wallet dan operator seluler oleh Kejagung bekerja sama dengan BPK di luar pengadilan adalah solusi yang cepat dan tepat," kata Aboe kepada wartawan, Selasa (24/12/2024). 

Sekjen PKS ini mengatakan, penyitaan duit judol oleh Kejagung dan BPK ini, bakal memberikan efek jera kepada lembaga penyelenggara sistem pembayaran baik perbankan, e-wallet dan operator seluler yang terkoneksi dengan merchant judi online.

Pelakunya, katanya, terancam pidana penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar berdasarkan UU ITE Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 45 Ayat (2). 

Selain itu, Pasal 303 KUHP juga mengatur hukuman hingga 10 tahun penjara atau denda Rp 25 juta bagi pelaku perjudian. 

Dijelaskan, bank, e-wallet dan operator seluler dapat kehilangan dana hasil judol yang dianggap sebagai hak pemerintah, dan pendapatan dari aktivitas ilegal ini akan disita. Reputasi dan operasional perusahaan bakal terancam. 

"Jadi judol  merupakan wabah yang sangat serius yang telah menyebabkan risiko sistemik di sistem pembayaran kita. Di sisi lain, ada yang menikmati dari tiap rupiah transaksi judol. Yakni perbankan, e-wallet, operator seluler dan lembaga non bank lainnya," katanya

BI & OJK disorot

Presiden Center for Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri menyoroti kerja pengawasan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait masalah ini.

Menurutnya, judol kerap dimanfaatkan perbankan dan lembaga keuangan non-bank mengeruk cuan. Padahal, praktik judol  dilarang negara. 

Meluasnya sistem pembayaran judol lewat bank, e-wallet dan operator seluler, bukti lemahnya pengawasan perbankan melalui OJK dan lemahnya pengawasan sistem pembayaran oleh BI.

 Mudahnya koneksi pembayaran melalui Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), kata Deni, API (Application Programming Interface) dari perbankan, e-wallet ke PJP (penyedia system pembayaran), berdampak kepada melemahnya E-KYC (Elecronic Know Your Costumer) dan E-KYB (Electronic Know Your Business). 

"Dalam hal ini, perbankan dan e-wallet pura-pura tidak tahu adanya koneksi dalam sistem pembayaran merchant judol," katanya. 

Di mana, PJP yang mendapat izin operasi dari BI (Bank Indonesia) sesuai dengan PBI No.22/23/PBI/2020 dan juga PJP yang mendapat izin PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) lewat PP No 71/2019 dari Menkodigi akhirnya berevolusi menjadi media transaksi pembayaran dan merchant judol. 

"Inilah yang menyebabkan maraknya judol semakin berkembang pesat," paparbya.

Dia bilang, baik perbankan, e-wallet maupun operator seluler adalah media yang digunakan untuk melakukan pembayaran judol secara digital. 

Ketiga lembaga itu meraup keuntungan atau cuan berupa Fee based income (pendapatan) yang cukup jumbo. 

Berdasarkan catatan CBC, sejak 2017 hingga 2024, terjadi transaksi judol lewat perbankan, e-wallet dan operator seluler sebesar Rp1.416 triliun. 

Kemudian sistem pembayaran yang membantu judol, di mana, perbankan mendapat Rp3.000 per transaksi, e-wallet Rp1.500 per transaksi dan operator seluler di kisaran Rp2.500-Rp5.000 per top up. 

Sehingga, pendapatan perbankan, e-wallet dan operator seluler dari praktik judol  selama 8 tahun (2017-2024) sebesar fee based income perbankan Rp70,5 triliun, e-wallet Rp11,5 triliun, operator seluler Rp4,2 triliun. Sedangkan nilai transaksi yang diblokir PPATK sebesar Rp101 triliun.  

"Jumlah pendapatan bank, e-wallet dan operator seluler dari judol dalam 8 tahun, sebesar Rp86,2 triliun dan yang diblokir Rp101 triliun dapat diambil oleh BPK bekerja sama dengan Kejagung dengan cara dicicil selama setahun," ungkapnya. 

Jika besarnya pengembalian tidak sesuai dengan angka sebenarnya, kata dia, BPK dapat melakukan investigasi audit, IT audit, di mana biaya audit ditanggung lembaga yang bersangkutan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini