Sebelum perubahan UUD 1945, ungkapnya, kewenangan yudisial yang melekat kepada presiden sebagai kepala negara bersifat absolut.
Kemudian pasca-amandemen UUD 1945, kata dia, kekuasaan presiden tidak absolut.
Untuk itu, ungkap dia, Presiden perlu meminta pertimbangan kepada MA dan DPR.
"Karena itu supaya keputusan yang diambil, apa itu grasi, amnesti, atau abolisi, ada aspek pengawasannya. Tidak serta-merta presiden mengeluarkan tanpa pertimbangan kedua institusi tersebut," katanya.
Selain presiden, ungkpanya, kewenangan memberikan pengampunan kepada koruptor dan pelaku kejahatan lainnya juga diberikan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui denda damai.
Sehingga, kata dia, baik presiden maupun Kejaksaan Agung diberikan ruang untuk memberikan pengampunan.
“Tanpa lewat presiden pun memungkinkan untuk memberikan pengampunan karena undang-undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai bagi perkara tindak pidana korupsi,” tutur Supratman.
Ia pun mengatakan proses pemberian pengampunan kepada koruptor masih menunggu arahan lebih lanjut dari Presiden Prabowo.
"Oleh karena itu, teman-teman nanti bisa menunggu langkah konkret selanjutnya, setelah diberi arahan kepada kami oleh Bapak Presiden," kata dia.