"Awalnya saya kira mereka adalah driver ojek online yang sedang mencari pelanggan. Mereka memanggil teman saya yang berjalan dengan saya."
"Mereka menggeledah teman saya, lalu saya menunggu teman saya karena saya sudah memesan taksi online untuk pulang bersama."
"Mereka (polisi) lalu ikut menarik saya, mengecek dompet dan barang-barang saya," jelas Amir pada Jumat (27/12/2024).
Dia juga melihat polisi melakukan hal yang sama kepada sejumlah pengunjung DWP lainnya secara acak.
Mereka kemudian dikumpulkan dan dibawa ke Polda Metro Jaya.
Sesampainya di kantor polisi, Amir mengaku diminta melakukan tes urine.
Bahkan, ponsel mereka disita dan tak dibolehkan menghubungi siapapun, termasuk pengacara atau Kedutaan Besar Malaysia.
"Mereka cuma mengizinkan kami menghubungi keluarga kami, tapi mereka memonitor komunikasi kami, lalu menyita kembali ponsel kami."
"Mereka juga tidak mengizinkan kami menunjuk pengacara. Mereka memaksa kami menandatangani surat penunjukan pengacara yang sudah mereka tentukan," jelas Amir.
Amir dan rekan-rekannya pun menghabiskan waktu hampir dua malam di kantor polisi.
"Sebagian dari kami positif dan sebagian lainnya negatif. Tapi, walaupun hasil tesnya negatif, mereka tetap mengunci kami di kantor mereka."
"Mereka bilang karena kami datang sama-sama, walaupun sebagian (hasil tes urine) negatif, kami diminta mengaku salah dan membayar untuk bisa bebas," kata Amir.
Amir mengklaim dia dan delapan orang temannya diminta membayar Rp800 juta untuk bisa bebas.
"Padahal tidak ditemukan barang bukti apapun pada kami, hanya tes urine sebagian dari kami hasilnya positif."