Laporan Wartawan Tribunnews.com Rahmat W Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mendesak KPK usut tuntas perkara dugaan gratifikasi penyelenggaraan haji 2024.
"MAKI telah berkirim surat kepada KPK untuk mendesak percepatan penuntasan penanganan perkara. Selain untuk tujuan penegakkan hukum, juga diperlukan guna perbaikan penyelenggaraan haji kedepannya," kata Boyamin dalam keterangannya, Senin (30/12/2024).
Boyamin mengatakan, desakan tersebut setidaknya memiliki dua data penguat.
"Pertama, dugaan gratifikasi dan pungutan liar, karena senyatanya kuota tambahan jemaah haji plus (sekitar 5.000 orang) yang berangkat tahun 2024 dikenakan biaya tambahan sekitar 4.000 USD hingga 5.000 USD. Jika dirupiahkan antara Rp60 juta hingga Rp75 juta," terangnya.
Data penguat kedua dikatakan Boyamin, berupa dugaan kamuflase. Yakni melalui oknum Kemenag meminta sejumlah biro travel haji plus untuk mengajukan surat permohonan tambahan kuota haji plus dengan sistem tanggal mundur.
"Surat tersebut yang dijadikan alasan pemberian kuota 50 persen dari 10.000 jatah tambahan haji pemerintah Arab Saudi (Padahal sesuai ketentuan mestinya hanya 20% atau 2.000 jemaah untuk haji plus dan sisanya 8.000 untuk haji reguler)," terangnya.
Baca juga: Sosok Kombes Donald Simanjuntak, Dimutasi Buntut Kasus DWP, 6 Bulan Jabat Dirresnarkoba Polda Metro
Dengan data tambahan tersebut, diharapkannya KPK akan mampu mempercepat penuntasan perkara tersebut.
Meski begitu, ia menyerahkan sepenuhnya kepada KPK siapa-siapa yang hendak dibidik jika terdapat dugaan penyimpangan gratifikasi atau pungli.
"Yang jelas, penanggung jawab tertinggi penyelenggaraan haji adalah Menteri Agama saat itu, namun bisa saja oknum di bawahnya yang diduga terlibat. Yang harus jadi perhatian KPK adalah Menteri Agama tidak pernah hadir panggilan Pansus Haji DPR 2024," tegasnya.
Pansus Haji DPR Temukan 9 Masalah Haji di Masa Menag Gus Yaqut
Tahun 2024 diwarnai dengan polemik penyelenggaraan ibadah haji yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui Kementerian Agama, di antaranya soal kuota tambahan.
Masalah distribusi kuota haji menjadi permasalahan saat Indonesia mendapatkan tambahan kuota 20 ribu dari Arab Saudi.
Saat itu, Kementerian Agama membagi 10 ribu haji reguler dan 10 ribu untuk haji khusus.
Baca juga: Kembali Mangkir dari Panggilan Pansus Haji, Yaqut Berdalih Sedang di Eropa & Tak Dapat Tiket Pulang
Penambahan kuota untuk haji khusus membuat jemaah dari khusus mendapatkan kuota lebih dari 8 persen. Penentuan pemberian kuota ini juga dipermasalahkan, karena tidak melibatkan DPR.
Pembahasan mengenai kuota haji ini dibahas dalam Pansus Angket Haji DPR.
Anggota Timwas Haji DPR Ace Hasan Syadzily menilai perubahan kebijakan yang dilakukan Kementerian Agama (Kemenag) terkait pengalihan 10.000 kuota tambahan dari 20.000 kuota tambahan yang ada untuk haji khusus sudah menyalahi aturan.
Menurutnya, keputusan tersebut bertentangan dengan hasil Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Agama RI serta Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 tahun 2024 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang sudah disepakati bersama pada 27 November 2023.
Perubahan kebijakan tersebut dilakukan secara sepihak tanpa mengadakan pembahasan lebih lanjut dengan DPR RI. Perubahan kebijakan ini berpengaruh pada asumsi jumlah jemaah dan penggunaan anggaran biaya haji yang berasal dari setoran jemaah dan nilai manfaat keuangan haji yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Puncak dari permasalahan haji pada tahun 2024, adalah pembentukan Panitia Khusus Hak Angket Haji 2024 atau Pansus Haji oleh DPR RI.
Salah satu penggagas pansus tersebut adalah Wakil Ketua DPR yang juga Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar.
Pansus Haji DPR RI untuk penyelenggaraan ibadah haji 2024 dibentuk pada 10 Juli 2024 dan resmi bekerja pada 19 Agustus 2024.
Sejumlah pejabat Kementerian Agama dipanggil oleh Pansus Haji DPR. Bahkan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan jemaah turut diperiksa oleh Pansus Haji DPR.
Dalam pendalaman masalah haji, Pansus juga sebenarnya memanggil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas.
Namun, Yaqut selalu mangkir dengan alasan berbagai kegiatan, termasuk kunjungan ke luar negeri.
Pansus Haji DPR juga melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Kantor Subdit Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat), Kementerian Agama (Kemenag) RI.
Dalam sidak yang dipimpin Marwan Dasopang selaku Wakil Ketua Pansus Angket Haji, anggota DPR melontarkan beragam pertanyaan soal temuan Pansus Haji DPR RI terkait penyelenggaraan Haji 2024.
Akhirnya, Pansus Haji DPR melaporkan sembilan temuan penyelidikan penyelenggaraan Haji 2024 dalam paripurna terakhir DPR periode 2019-2024 pada 30 September 2024.
Baca juga: KPK Optimis Harun Masiku Tertangkap usai Hasto Kristiyanto Jadi Tersangka
Pertama terkait kelembagaan. Pansus menilai Kementerian Agama masih berperan ganda dalam penyelenggaraan ibadah haji, sebagai regulator maupun operator. Padahal, Arab Saudi tidak lagi menggunakan pendekatan government to government dalam penyelenggaraan haji.
Kedua, soal kebijakan. Pansus Haji menemukan dugaan ketidakpatuhan terhadap Pasal 64 ayat 2 UU Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Khususnya, tentang alokasi kuota yang ditetapkan kuota haji khusus sebesar 8 persen dari kuota haji reguler.
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah dianggap melakukan ketidakpatuhan dengan mengajukan pencairan nilai manfaat tanggal 10 Januari 2024 sebelum diterbitkannya KMA (Keputusan Menteri Agama) Nomor 130 Tahun 2024 tanggal 15 januari 2024 yang seharusnya menjadi basis penghitungan kuota.
Ketiga, soal distribusi kuota haji. Pengisian kuota haji reguler untuk jemaah yang membutuhkan pendamping penggabungan dan pelimpahan porsi masih ada celah atau kelemahan. Pendamping diisi jemaah haji reguler yang bukan mahramnya.
Kemenag juga dinilai masih belum mengupayakan maksimal menyelesaikan masalah 5.678 nomor porsi kuota 'batu', yaitu porsi haji reguler yang belum diketahui secara pasti di mana jemaah haji berada atau bertempat tinggal hingga 2024.
Ada ketidaksinkronan regulasi, khususnya, antara keputusan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 118 tahun 2024 tertanggal 29 Januari 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Haji Khusus Tambahan dan Sisa Kuota Khusus Haji 1445 H dengan SE Dirjen Bina Haji Khusus tentang Penyampaian Daftar Haji Khusus, dan Pasal 65 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
Kemudian, Inspektorat Jenderal Kemenag sebagai aparatur pengawasan internal pemerintah tidak menjadikan pembagian kuota Haji tambahan tahun 2024 sebagai objek pengawasan. Sementara, pembagian kuota haji tambahan 1445 Hijriah ada potensi tidak sesuai dengan UU Nomor 8 tahun 2019.
Keempat, Siskohat dan Siskopatuh. Sistem komputerisasi haji terpadu dinilai tidak terjamin keamanannya karena tidak ada audit berkala terhadap sistem. Selain itu, terlalu banyak kepentingan yang dapat mengakses, seperti subdit siskohat, subdit pendaftaran haji, kantor wilayah, kantor Kemenag di kabupaten/kota, hingga bank penerima setoran penyelenggara haji khusus.
Kelima, soal pendaftaran. Keputusan Menteri Agama Nomor 226 Tahun 2023 tentang Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus; Keputusan Menteri Agama Nomor 1063 Tahun 2023 tentang Setoran Pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi, dan BAB III Poin B, Keputusan Direktur Jenderal PHU No. 118 Tahun 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Ibadah Haji Khusus.
Ketentuan tersebut mengakibatkan aandanya praktik pemberangkatan 3.503 jemaah haji khusus dengan status tanpa antre, mendaftar tahun 2024 dan berangkat pada tahun itu juga.
Keenam, nilai manfaat. Pansus menilai adanya ketidakadilan penggunaan nilai manfaat. Mereka yang belum berhak untuk berangkat menggunakan nilai manfaat tahun berjalan yang didapatkan dari jemaah haji lain yang berada pada daftar antrean.
Ketujuh, jemaah cadangan lunas tunda sebesar 30 persen dari kuota haji nasional harus berangkat lebih dulu. Namun, karena ada mekanisme penggabungan mahrom, jemaah lansia dan disabilitas, hak jemaah haji lunas tunda menjadi tidak pasti keberangkatannya.
Kedelapan, pelaporan dan pengawasan. Kemenag dianggap tak menjalankan Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Padahal, ketentuan itu mengatur tentang pelaporan pelaksanaan operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus (PIHK) kepada Menteri.
Baca juga: Profil AKBP Malvino Edward yang Dicopot Jabatannya, Prestasi Gemilang Rusak Gegara Pemerasan di DWP
Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan kontrol Kementerian Agama terhadap jumlah keberangkatan dan kepulangan jemaah haji khusus oleh PIHK yang seharusnya dilaporkan kepada DPR RI setelah penyelenggaraan ibadah Haji.
Kesembilan, Pelayanan. Pelayanan di Arafah, Musdalifah, dan Mina dan selama pelaksanaan ibadah haji banyak ditemukan ketidaksesuaian dengan ketentuan, kontrak dan standar pelayanan.