TRIBUNNEWS.COM - Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bakal naik menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 atau dua hari lagi.
Adapun kenaikan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Hal ini resmi disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani dalam konferensi pers pada 16 Desember 2024 silam.
"Sesuai dengan amanah undang-undang tentang harmoni peraturan perpajakan, ini sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan yaitu tarif PPN tahun depan akan naik sebesar 12 persen per 1 Januari."
"Namun, barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat ini PPN-nya diberikan fasilitas atau 0 persen," kata Airlangga, dikutip dari Kompas.com.
Sementara, Sri Mulyani menyebut kebijakan PPN 12 persen dikenakan untuk barang mewah yang sebelumnya dibebaskan PPN.
Di antaranya adalah kelompok makanan dengan harga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan berstandar internasional yang berbiaya mahal.
"Yaitu kelompok yang masuk dalam golongan yang dikonsumsi oleh desil 10 yaitu desil paling kaya desil 9-10 kita akan berlakukan pengenaan PPN-nya," ujar Sri Mulyani.
Namun, nyatanya, kebijakan ini menuai kecaman dari publik. Bahkan, polemik naiknya PPN menjadi 12 persen juga berbuntut panjang di mana adanya pelaporan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terhadap salah satu legislator.
Baca juga: Sederet Dampak Buruk ke Masyarakat saat PPN 12 Persen Diterapkan Pemerintah 1 Januari 2025
Muncul Petisi Tolak PPN Naik, Ditandatangani 199 Ribu Orang
Polemik pertama muncul dari elemen masyarakat yang menolak akan kenaikan PPN menjadi 12 persen.
Salah satunya lewat petisi yang dibuat pada 19 November 2024 silam oleh akun bernama Bareng Warga.
Adapun judul petisi tersebut adalah "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!"
Dalam petisi tersebut, kenaikan PPN menjadi 12 persen dianggap bakal mempersulit keadaan masyarakat lantaran membuat harga berbagai kebutuhan mengalami kenaikan.