News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Putusan MK: Perselisihan Perjanjian Asuransi Harus Diselesaikan Melalui Mediasi atau Pengadilan

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sidang pembacaan putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Jumat (3/1/2025).

"Oleh karena itu, menurut Mahkamah, apabila ada perselisihan di antara para pihak dalam perjanjian (asuransi), hal tersebut merupakan sengketa antar pihak yang penyelesaiannya terlebih dahulu ditempuh menggunakan kesepakatan dua belah pihak atau mediasi," tutur hakim.

Namun, lanjut hakim, apabila upaya penyelesaian tersebut tidak tercapai melalui mediasi, maka menurut Mahkamah harus dilakukan oleh pengadilan yang secara konstitusional sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang diberi wewenang menyelesaikan setiap perkara dalam ranah keperdataan privat sebagai upaya penyelesaian terakhir.

Untuk diketahui, Pasal 251 KUHD berbunyi, "Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal."

Dalam petitum, pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 251 KUHD sepanjang frasa “pertanggungan itu batal” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pembatalan pertanggungan harus atas putusan pengadilan yang berwenang terkecuali pembatalan tersebut didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung” atau “pembatalan pertanggungan harus atas putusan pengadilan yang berwenang terkecuali pembatalan itu dilakukan oleh penanggung dalam rentang waktu paling lama 6 (enam) bulan karena ditemukannya ketidaksesuaian data tertanggung antara data yang tertera dalam formulir pertanggungan dengan data yang sebenarnya” atau “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tdak diadakan dengan syarat-syarat yang sama.

Pemohon menilai, ketentuan norma dalam Pasal 251 KUHD tersebut membuka ruang yang begitu besar bagi perusahaan asuransi untuk memanfaatkan peraturan undang-undang guna kepentingan pribadi perusahaan. 

Pasal 251 KUHD membuka ruang bagi perusahaan asuransi memanfaatkannya sebagai senjata sakti melakukan berbagai tricky yang bertujuan untuk menghindar dari tanggung jawab pembayaran klaim.

Tak hanya itu, menurut pemohon, Pasal a quo sama sekali tidak memberi ruang bagi tertanggung/pemegang polis atau ahli warisnya untuk membuktikan jika kesalahan atau kelalaian tidak berada pada dirinya dan membuktikan bahwa tertanggung telah melakukan itikat terbaik (utmost good faith). 

Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip negara hukum yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Pemohon menjelaskan kerugian konstitusionalnya imbas keberlakuan Pasal 251 KUHD ini. Ia mengatakan, sang ayah, Sopan Santun Duha merupakan tertanggung/pemegang polis atas nama almarhum Latima Laia yang terdaftar sebagai tertanggung/pemegang polis asuransi jiwa dari PT Prudential Life Assurance.

Hingga permohonan ini dibuat, menurut pemohon, Prudential masih memiliki kewajiban untuk membayar sisa nilai manfaat yang semestinya diterima penerima manfaat atas nama Sopan Santun Duha sebesar Rp 510,5 juta.

Namun, Sopan Santun Duha telah meninggal dunia pada 7 Januari 2024 sehingga nilai manfaat belum dibayarkan Prudential. 

Pemohon menilai, secara hukum nilai manfaat jatuh kepadanya atau menjadi hak Pemohon yang merupakan ahli waris sah dari penerima manfaat.

 

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini