"Kekhawatiran investor ternyata tak terletak di antisipasi langkah The Fed semata. Mereka juga cemas bahwa kebijakan moneter agresif The Fed bakal diikuti oleh bank sentral lain seantero dunia," ucap Afid.
Hasilnya, pelaku pasar tentu jadi tidak bergairah investasi di pasar modal atau kripto, karena berisiko dan memilih membenamkan dana di instrumen berpendapatan tetap.
Menurut Afid, ketika melihat beberapa tahun sebelumnya, inflasi bisa tak berkorelasi langsung dengan kinerja market aset kripto.
"Contoh kasus di masa lalu, tingginya inflasi bisa berdampak baik bagi permintaan dan laju harga Bitcoin mengingat statusnya sebagai aset penyimpan kekayaan (store of value), seperti layaknya emas," ujar Afid.
Afid menjelaskan saat ini teori tersebut tampaknya tidak berlaku lagi. Kondisinya sudah berbeda.
Pasar kripto sudah banyak dimasuki oleh investor institusi yang melihat dinamika makroekonomi sebagai indikasi untuk membuat keputusan di pasar. Investor institusi yang sudah banyak terjun ke dalam market kripto, bisa mengurangi porsi aset berisiko di dalam portofolio mereka atau derisking.
Dengan banyaknya jumlah dana kelolaan mereka yang cukup besar di market, aksi jual investor institusi bisa sangat mempengaruhi performa pergerakan aset kripto.
Selain karena antisipasi data ekonomi, Afid mengatakan, investor juga enggan all-out di market disebabkan harga beberapa aset kripto belum benar-benar menyentuh titik bottom-nya. Investor masih berpikir atau ragu-ragu untuk menjalankan strategi buy the dip. (Daily Mail/Kontan/Aris Nurjani/Khomarul Hidayat)