"Bagaimana seorang perempuan (harus berjuang) mengendalikan pikirannya untuk melawan ketakutan (dan rasa khawatirnya)."
"Dia harus melangkah dan hanyut dalam gejolak-gejolak yang terjadi pada dirinya."
"Ini (yang saya tampilkan, yakni bagaimana) sosok Anjasmara (hadir) bersama dengan perasaannya."
"Saya ingin menampilkan tubuh yang dapat mewakili diri Anjasmara versi saya," jelas Agus Mbendol saat sesi diskusi di akhir acara.
Anjasmara, jelas Agus, hidup dalam penantian abadi yang dipenuhi dengan berbagai perasaan.
Perasaan yang muncul dalam dirinya, ia tumpahkan semuanya dalam ruang kesendirian.
Cerita ini membawa Agus dalam ruang penafsiran.
Baca juga: Gandeng Banyak Musisi, Gekrafs Bikin Gebrakan untuk Meriahkan Hari Musik Nasional
Agus margiyanto menuangkan penafsiran atas nilai kesetiaan pengabdian dan kedamaian dalam penceritaan tokoh perempuan Anjasmara melalui tubuh yang bergerak menjelajahi ruang-ruang imajiner.
Melalui perjalanan panjangnya sebagai penari, aktor dan koreografer Agus Mbendol mengajak penonton untuk menelusuri cara pandang atas keperempuanan melalui kisah Anjasmara.
Garapan tari ini disajikan dengan menampilkan ketubuhan tari Retno Sulistyorini, seorang penari yang juga keoreografer.
Sebagai penari tunggal di garapan ini, Retno yang disapa Eno, menampilkan paduan antara kelembutan, kekuatan, keberanian, keliaran, bahkan kerapuhan, keputusasaan dan kehidupan yang penuh dengan pengharapan.
Pertunjukkan yang berdurasi 45 menit ini, digelar dengan sebuah bentuk panggung kotak yang sekelilingnya tertutup paranet.
Terkait dengan pemilihan panggung berbentuk kotak dan tertutup itu, Agus mengibaratkannya sebagai ruang privasi.
Baca juga: Catat! On Stage Edisi 9 Tampilkan Grup Musik Eksperimental Senyawa di TBJT 27 Januari 2022
"Kenapa pilih kotak karena kotak, saya anggap sebagi ruang privasi."