Biasanya, tudung lingkup dikenakan oleh ibu-ibu setempat dan para gadis yang ada di desa agar terhindar dari siapapun yang hendak berbuat jahat.
Terkait festival itu, sekitar 1.000 ibu-ibu pun hadir dari seluruh Kecamatan yang ada di kota Jambi.
Festival ini diharapkan dapat dilestarikan karena mengandung nilai yang sangat tinggi terkait warisan budayanya.
Baca juga: Djakarta Festival Akan Digelar Tiap Tahun Untuk Fasilitasi UMKM
Dalam festival ini juga hadir para peserta Kenduri Swarnabhumi yang merupakan program dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).
Para peserta tersebut merupakan hasil seleksi dari tim kepanitiaan yang akhirnya bisa memilih 10 orang terbaik dari provinsi Sumatera Barat dan Jambi.
Sejak 23 Agustus lalu, mereka sudah dilepaskan secara resmi oleh Bupati Dharmasraya untuk bertolak menuju Jambi demi menghadiri event ini.
Seorang peserta Kenduri Swarnabhumi dari Sumatera Barat, Ghita Ramadhayanti menilai festival ini menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu, perempuan selalu diprioritaskan dalam menjaga adab dan marwahnya.
"Festival Tudung Lingkup ini memiliki kesamaan dengan masyarakat Sumatera Barat yang dikenakan oleh Bundo Kanduang saat keluar rumah atau agenda publik. Selain itu, para Bundo Kanduang juga menggunakan Baju Kuruang Basiba saat ada acara adat," kata Ghita, dalam keterangannya, Selasa (30/8/2022).
Menurutnya, penggunaan pakaian tradisi Sumatera Barat tersebut memiliki arti yang sangat esensial, agamis, dan filosofis yang sangat tinggi.
Salah satunya ditunjukkan dengan adanya makna filosofis yang terkandung dalam bis garis lurus pada baju kurung Basiba yang artinya adalah matrilineal.
Matrilineal ini dikenal luas menggunakan suku yang diturunkan dari pihak ibu.
Dengan digelarnya Festival Tudung Lingkup dan Kenduri Swarnabhumi ini, Ghita berharap seluruh pihak bisa mengingat kembali tradisi dan budaya yang ada di daerah masing-masing, agar nilai-nilai budayanya dapat terus dilestarikan.
Dalam event itu, turut diadakan pula kegiatan menyusuri Sungai Batanghari sepanjang 800 km yang dianggap sebagai upaya mewujudkan dan meningkatkan kecintaan semua elemen masyarakat terhadap kondisi sungai yang kini rusak oleh 'ulah manusia'.
Penyusuran sungai itu tidak hanya diikuti oleh arkeolog, sejarawan dan budayawan saja, namun juga mahasiswa, komunitas hingga influencer.