Hasil hitung cepat Kompas memperlihatkan, tidak satu pun partai politik yang berhasil memperoleh 20 persen suara, syarat minimal yang dibutuhkan sebuah partai politik untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden-wakil presiden.
Secara matematis, koalisi partai-partai nasionalis memiliki total 68,18 persen vs partai-partai Islam 31,81 persen.
Koalisi seperti itu sepertinya mustahil mengingat sejarah interaksi partai-partai politik tersebut serta hubungan personal di antara para pemimpin puncaknya.
Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, misalnya, dikenal memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan pimpinan puncak Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Hasil pemilu menempatkan Megawati dan Prabowo sebagai dua poros koalisi, sementara SBY akan jadi pengikut karena partainya hanya meraih 9,42 persen, turun drastis dari perolehan pada Pemilu 2009 yang mencapai 20,81 persen.
Partai Demokrat juga sudah menurunkan "call", dari semula calon presiden menjadi cukup calon wakil presiden.
Pada pemilihan presiden 2009, Demokrat mengajukan sendiri pasangan calon, SBY-Boediono, dan menjadikan partai lain sebagai pengikut. Kali ini, Demokrat akan jadi pengikut.
Satu poros koalisi lainnya adalah Partai Golkar. Aburizal Bakrie alias ARB alias Ical menjadi calon presiden.
Dengan fenomena politik seperti itu, tiga pemimpin partai nasionalis --Megawati, Prabowo, dan Aburizal Bakrie-- masing-masing akan memimpin poros koalisi.
Adapun partai-partai Islam, kecuali mereka bersatu, hanya akan menjadi pengikut.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadwalkan, pendaftaran pasangan capres-cawapres dibuka 10 Mei 2014 dan akan segera ditutup enam hari kemudian, 16 Mei 2014.
Setelah pemilu legislatif ini, dinamika politik akan terlihat dalam penyusunan koalisi: nasionalis-nasionalis atau nasionalis-Islam atau Islam-Islam.
Megawati memegang kartu Jokowi atau Joko Widodo sebagai calon presiden dari PDIP. Soalnya: Jokowi berpasangan dengan siapa.
Suara PDIP tidak sampai 20 persen, dari target 27 persen. Pemilih telah menulis pesan yang sangat kuat kepada PDIP seperti ini: Hati-hati, lo. Kalau salah pilih pendamping Jokowi, hasilnya akan menyakitkan.