Subak bagi masyarakat Bali tidak hanya sekedar sistem irigasi, tetapi juga merupakan konsep kehidupan bagi rakyat Bali itu.
Dalam pandangan rakyat Bali, subak adalah gambaran langsung dari filosofi Tri Hita Karana.
Subak mampu bertahan selama lebih dari satu abad karena masyarakatnya taat kepada tradisi leluhur.
Pembagian air dilakukan secara adil dan merata, segala masalah dibicarakan dan dipecahkan bersama.
Bahkan, penetapan waktu menanam dan penentuan jenis padi yang ditanam pun dilakukan bersama.
Sanksi terhadap berbagai bentuk pelanggaran akan ditentukan warga melalui upacara atau ritual yang dilaksanakan di Pura.
Harmonisasi kehidupan seperti inilah yang menjadi kunci utama lestarinya budaya Subak di Pulau Dewata.
Adapun sebagai informasi, warisan budaya Subak pernah menghiasi tampilan Google Doodle, Senin (29/6/2020) lalu.
Google memperingati sistem irigasi Indonesia yang terdaftar dalam Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 2012.
Subak bukan hanya sekedar sistem irigasi, tetapi juga merupakan konsep kehidupan dan tradisi bagi masyarakat Bali.
Warisan budaya ini juga dianggap sebagai cerminan dari filosofi Bali kuno Tri Hita Karana, sebagaimana dikutip Tribunnews.com dari Google.com.
Tri Hita Karana berasal dari kata "Tri" yang artinya tiga, "Hita" yang berarti kebahagiaan/kesejahteraan dan "Karana" yang artinya penyebab.
Maka Tri Hita Karana berarti “Tiga penyebab terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan”.
Ada tiga penerapan di dalam sistem subak Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan.
Berikut penjelasan dari penerapan filosofi Tri Hita Karana di dalam sistem subak:
- Parahyangan yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan.
- Pawongan yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya.
- Palemahan yakni hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan lingkungannya.
(Tribunnews.com/Suci Bangun DS, Kompas.com/Imam Rosidin)