News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilkada Serentak 2020

KPU Tak Bisa Larang Konser Musik, Terbentur UU Pilkada dan PKPU

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

SIMULASI PEMUNGUTAN SUARA - KPU Kota Tangerang Selatan, menggelar simulasi pemungutan suara pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan, di lapangan PTPN VIII, Serpong, Sabtu (12/9/2020). Simulasi dilakukan di TPS 18 dan diikuti 419 orang pemilih dari Kelurahan Cilenggang, Serpong, Kota Tangerang Selatan. Kegiatan ini disaksikan langsung Ketua KPU Pusat, Arief Budiman dan dilakukan dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Pilkada Kota Tangerang Selatan akan digelar pada 9 Desember mendatang. WARTA KOTA/NUR ICHSAN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Undang-Undang Pilkada yang mengatur segala tahapan dalam Pilkada Serentak 2020 tidak mengantisipasi pandemi corona. Sehingga, di dalamnya tidak ada ketentuan atau sanksi bagi mereka pelanggar protokol Covid-19.

UU Pilkada misalnya, tak melarang kegiatan kampanye yang memicu kerumunan seperti konser musik. Sementara, KPU sebagai pelaksana UU, tidak bisa membuat norma hukum baru dalam Peraturan KPU (PKPU).

Menurut Komisioner KPU, Viryan Azis, dengan tidak adanya ketentuan atau sanksi tersebut, maka pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan tidak bisa dijerat KPU.

KPU hanya bisa memberikan sanksi administrasi berupa pembatalan terhadap paslon yang melanggar tiga ketentuan. Hal itu sebagaimana tertera dalam UU Pilkada yang berlaku.

"Sanksi pembatalan ke paslon hanya 3 di UU Pemilihan: terbukti money politik, mutasi dan menerima dana tak sesuai UU," ucap Viryan.

Lantaran tidak diatur dalam UU Pilkada, kata Viryan, maka yang paling memungkinkan saat ini adalah menjerat di ranah pidana. Salah satunya dengan UU Kekarantinaan Kesehatan.

"Perlu pengaturan sanksi pidana kepada setiap orang atau pihak yang mengakibatkan terjadi kerumunan. Kepada paslon juga ada sanksi yang bisa diberikan," kata Viryan, Jumat (18/9/2020).

Viryan mengatakan diperlukan adanya revisi UU Pilkada atau Perppu kedua agar KPU bisa memberikan sanksi kepada paslon yang melanggar protokol kesehatan.

"Kalau sanksi perlu pengaturan di UU, itu bahasa saya. Upaya adaptasi KPU terhadap protokol COVID sudah maksimal namun tak bisa melampaui yang sudah diatur UU," jelas Viryan.

"Mendesak dilakukan adaptasi dalam UU Pilkada yang menjamin pelaksanaan tahapan pemilihan disiplin protokol kesehatan," ujar Viryan.

Dia melanjutkan, kerumunan massa pada tiga hari pendaftaran menjadi lampu merah yang perlu dipertimbangkan pemerintah untuk mengeluarkan Perppu Pilkada kedua.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, kata Viryan, sebaiknya Perppu yang dikeluarkan tidak hanya sebatas fokus pada aspek kampanye saja.

"Perlu juga memeriksa dan memastikan seluruh tahapan yang sedang dan akan berjalan sebagai kesatuan proses yang disiplin protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19," tutur Viryan.

"Perppu Pilkada kedua seyogyanya dapat menjadi perppu pamungkas yang menjadi dasar hukum pengaturan teknis sampai penyelenggaraan pilkada selesai," lanjut dia.

Baca: Soal Pelanggar Protokol Kesehatan dalam Pilkada, Bawaslu: Revisi PKPU Paling Penting

Sementara terkait usulan sejumlah pihak yang meminta Pilkada 2020 ditunda, KPU menegaskan hal itu tidak bisa sembarang dilakukan.

KPU mengatakan, hal itu harus berdasarkan pertumbuhan kasus COVID-19 di 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada. Sebab zona di 270 daerah itu bersifat dinamis.

"Tentang isu penundaan Pilkada dengan kasus Covid-19 meningkat perlu dilihat tidak berbasis kasus COVID secara akumulasi nasional namun kasus COVID-19 per daerah di 270 daerah," kata Viryan.

"Ada daerah yang hijau banget dan merah banget tapi semua bersifat dinamis," tutup dia.

Ubah PKPU

Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa, sebelumnya mengatakan, karena tidak ada waktu yang cukup untuk melakukan perubahan aturan, maka ia mengusulkan agar penyelenggara pemilu, pemerintah, dan pasangan calon Pilkada 2020 untuk membuat kesepakatan tidak mengadakan konser musik saat kampanye terbuka.

"Revisi sudah tidak memungkinkan, bikin kesepakatan bersama antara KPU, Bawaslu, Menteri Dalam Negeri dan para Paslon (tidak ada konser musik)," ujar DPR Saan.

Menurut Saan, sudah selayaknya konser musik di tengah pandemi dihindari, meski dalam PKPU diperbolehkan mengadakan kegiatan tersebut.

"Sebaiknya dihindari meskipun undang-undang membolehkan, apa lagi di PKPU sudah diatur kampanye terbuka maksimal 100 orang," ucap politikus NasDem itu.

"Konser bisa mengundang massa banyak dan potensial melanggar protokol kesehatan pencegahan Covid-19," sambung Saan.

Terpisah, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, aturan yang membolehkan konser musik saat kampanye Pilkada 2020 sebenarnya masih bisa diubah.

Sebab, UU Pilkada tidak menyebutkan secara spesifik perihal dibolehkannya pelaksanaan konser musik saat kampanye.

"Betul sekali tak ada aturan itu (disebutkan spesifik dalam UU). Sehingga PKPU masih bisa direvisi untuk mengatur secara lebih progresif," ujar Titi saat dikonfirmasi, Jumat (18/9/2020).

"Karena metode kampanye berupa kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan larangan kampanye dan peraturan perundang-undangan tersebut sepenuhnya menjadi otoritas KPU untuk menerjemahkannya menjadi kegiatan apa saja," jelas Titi.

Baca: Di Tahap Pendaftaran Calon Pilkada Serentak 2020, Bawaslu Terima 71 Permohonan Sengketa

Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyati mengatakan, semestinya PKPU yang mencantumkan diperbolehkannya konser musik bisa direvisi.

Selain karena aturan itu tak tercantum spesifik di UU Pilkada, saat ini KPU sendiri sudah bisa mengatur jumlah maksimal orang yang hadir di metode kampanye rapat umum.

"Bisa (direvisi), KPU sudah bisa mengatur maksimal jumlah orang yang hadir di kampanye rapat umum, maka harusnya bentuk-bentuknya juga bisa diatur," ujar Khoirunnisa.

Ia mengakui bahwa idealnya harus ada perubahan UU Pilkada sebelum merevisi PKPU. Akan tetapi, jika aturan konser musik tersebut dibiarkan di masa pandemi Covid-19, justru memancing kerumunan yang hadir.

"Memang ada masalah di UU Pilkada kita. UU Pilkada yang kita gunakan sekarang masih mengatur pilkada dalam situasi yang normal," tutur Khoirunnisa.

Sehingga, teknis penyelenggaraan terkait tahapan dan metode kampanye yang diatur pun masih dalam situasi normal.

"Dalam situasi normal kan kampanye tatap muka/rapat umum dengan mengadakan kegiatan seperti konser diperbolehkan," katanya.

Namun, menurut Khoirunnisa, sebetulnya bukan berarti KPU tidak bisa progresif membuat peraturan turunan UU Pilkada.

"KPU semestinya bisa membuat jenis kegiatan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan dalam kampanye tatap muka/rapat umum," tambah Khoirunnisa.

Di sisi lain Kemendagri juga setuju PKPU direvisi. Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar menyatakan pihaknya sepakat atas usul revisi PKPU.

Ia beralasan, kegiatan yang memicu kerumunan memiliki potensi menjadi titik penularan.

"Yang jelas kita setuju yang berpotensi rawan menjadi sarana penularan, ya tentu kita, ya tidak apa-apa kalo aturan itu kita perbaiki," kata Bahtiar saat konferensi pers daring bersama Bawaslu, Kamis (17/9/2020).

Bahtiar mengkritik soal aturan diperbolehkannya konser musik saat kampanye Pilkada 2020 mendatang.

Bahtiar mengingatkan seluruh dunia saat ini sedang meniadakan kegiatan konser musik yang memicu kerumunan orang di masa pandemi Covid-19.

"Seluruh dunia konser musik sedang ditutup kan? Jadi aneh juga kalo kita di Indonesia ini justru masih mengizinkan," kata Bahtiar.

"Ya kecuali (konser) virtual. Virtual selama ini kan pratiknya sudah ada. Kalau itu tidak ada masalah," lanjutnya.

Sementara itu, kata Bahtiar, konser musik yang dimaksud dalam aturan KPU saat kampanye merupakan kegiatan spesifik yang dilakukan di tempat terbuka. Sehingga tidak ditentukan berapa orang yang akan hadir.

"Kalau penyanyinya itu punya daya tarik, kemudian orang punya fanatik terhadap aliran musik tertentu ya terjadi kerumunan itu," tutur Bahtiar.

"Posisi pemerintah sejak awal sudah jelas, tidak setuju dengan segala bentuk kerumunan," lanjutnya menegaskan.

Sementara Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Achmad Yurianto menegaskan, sebaiknya konser musik saat kampanye Pilkada 2020 tidak dilakukan.

Menurutnya, Satgas Penanganan Covid-19 di daerah penyelenggara Pilkada harus ikut ambil bagian dalam melarang diadakannya konser musik.

"Tidak ada toleransi, yang pasti tidak boleh. Betul demikian (Satgas Covid-19 daerah ikut menegaskan larangan)," ujar Yuri saat dikonfirmasi, Kamis (17/9/2020).

Terkait adanya aturan dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020 yang membolehkan konser musik saat Pilkada, Yuri mengaku sudah berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri.

Bahkan, ia telah menyampaikan protes kepada Kemendagri atas adanya aturan itu.

"Sudah saya koordinasikan dengan Kemendagri. Saya protes ke Kemendagri tentang hal itu," kata dia.

Untuk solusi jangka pendek, Yuri menyarankan sebaiknya pelaksanaan konser musik dilarang dalam pilkada. Kemudian, ia mengimbau peserta pilkada dan masyarakat mematuhi protokol kesehatan.

Sementara itu, saat disinggung apakah pihaknya juga akan berkoordinasi dengan KPU dan Bawaslu, Yuri menyebut sudah langsung ditindaklajuti oleh Kemendagri.

"Ditindaklanjuti Kemendagri," kata Yuri.(tribun network/dng/sen/fik/dod)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini