TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Sekolah Konstitusi dan mantan Aktivis LBH Jakarta - YLBHI, Hermawanto menilai MK melakukan jumping conclusion atau kesimpulan yang tidak taat prosedur dan melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri yakni PMK N0 6/2020.
Sebelumnya, MK telah memutuskan 33 permohonan sengketa Pilkada 2020 tak dilanjutkan ke tahap pembuktian dalam sidang Putusan/Ketetapan Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota tahun 2020 pada Senin (15/2/2021).
"Setidaknya ada beberapa putusan MK kemarin diambil sebelum pemeriksaan pokok perkara, namun pada putusannya sudah memasuki kesimpulan materiil perkaranya," ujarnya.
Hermawanto menilai langkah MK tersebut berbahaya bagi sistem peradilan.
Praktik jumping conclusion biasanya dilakukan dengan mengabaikan asas peradilan yang fair, yang mendengar semua pihak dan memeriksa semua bukti.
Beberapa sengketa yang diduga jumping conclusion Asahan, Lampung Selatan, Manggarai, Lombok Tengah, Bone Bolongow, Karo, Banjar (Kalsel).
"Karena ada banyak fakta perkara yang tidak ada alat bukti tertulis namun ada bukti saksi, ketika MK telah memutus pokok perkara tanpa mendengar atau memeriksa semua alat bukti, maka kesimpulan hakim hanya partial dan tidak utuh dan sempurna. Karenanya praktek jumping conclusion berbahaya bagi sistem peradilan," ujarnya.
Baca juga: DPR Apresiasi Sikap KPU, Siapkan Simulasi Pemilu dan Pilkada 2024
Baca juga: MK Lanjutkan Perkara Sengketa Pilkada Kalsel ke Acara Pembuktian
Sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara (HTN), Margarito Kamis berpandangan bahwa produk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sidang sengketa Pilkada serentak 2020, berantakan.
Bahkan, sambung dia, MK sudah tidak lagi menjadi benteng terakhir para pencari keadilan dalam kontestasi pesta rakyat itu.
"Berantakan (produk putusan MK, red), MK jadi benteng ketidakadilan," kata Margarito saat dihubungi, di Jakarta, Selasa (16/2/2021).
Dikatakan Margarito, sikap MK terhadap sejumlah proses persidangan dipengaruhi Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dalam memeriksa dan mengadili syarat formal pengajuan sengketa hasil Pilkada ke MK.
Untuk diketahui, Pasal ini membatasi gugatan sengketa hasil pemilihan kepala daerah hanya bisa diajukan kalau selisih suara penggugat dengan pemenang Pilkada maksimum 2 persen.
Ia berpendapat, bila MK tetap menerapkan pasal a quo dalam setiap proses persidangannya, maka sama saja MK sedang membiarkan kecurangan terjadi, selama tidak melebihi batas yang telah ditentukan.
"Itu dia, karena mereka (MK,red) hanya pakai Pasal 158 doang, akhirnya begitu, seperti kemarin itu (permohonan sengketa Pilkada) berguguran semua, hari ini pun akan keguguran lagi. Akhirnya kecurangan-kecurangan tidak terdeteksi," papar dia.
Lebih lanjut, ketika ditanyakan apakah MK melakukan jumping conclusi? Margarito mengatakan bahwa hal itu tidak dilakukan, karena mahkamah hanya menjalankan ketentuan Pasal 158 itu saja.
Baca juga: Refly Harun Sebut Gibran Lebih Untung Maju di Pilkada Jateng Gantikan Ganjar Dibanding Maju di DKI
Baca juga: Elektabilitas Risma Bisa Ancam Anies dalam Pilkada DKI Mendatang, PDI-P Enggan Berkomentar
"MK kan mengacu pada aturan 158 itu yang memberikan mereka pijakan untuk membuat putusan seperti sekarang ini. Jadi itu menjadi pijakan , tinggal melihat saja setiap perkara yang masuk, oh ini penduduk sekian, harusnya masuk kategori 1,5 persen, ternyata selisihnya 3 persen, minggir. Itu parahnya," sebut dia.
"Jadi sidang kemarin itu sidang-sidangan doang, itu sidang hiburan. Sidang itu sekadar untuk mengetahui jumlah penduduk dan mengetahui selisih suaranya saja."
Dalam kesempatanya itu, Margarito mengingatkan MK untuk kembali ke khitahnya sebagai benteng terakhir para pencari keadilan, dengan mengesampingkan Pasal 158 itu.
"Harus dikesampingkan (Pasal 158,red), menurut saya sebetulnya tanpa perlu revisi pun MK atas nama keadilan berhak meninggalkan pasal itu," ujarnya.