TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi membuat opsi pilkada tak langsung mengemuka.
Namun, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengatakan opsi pergantian pilkada langsung menjadi pilkada tak langsung tidak akan serta merta membuat pilkada bersih dari korupsi.
"Soal pilkada langsung atau tidak langsung yang jadi perdebatan sekarang termasuk soal karena penyebabnya adalah korupsi kepala daerah, pilkada tidak langsung tidak cukup menjadi solusi," ujar Almas, dalam webinar 'Catatan Kritis Kebijakan dan Tata Kelola Pelaksanaan Pilkada', Kamis (15/10/2020).
Bila pilkada tak langsung akhirnya dipilih, Almas meyakini masalah korupsi yang sama akan tetap muncul.
Dia melihat korupsi muncul bukan karena masalah tunggal terkait pilkada langsung semata.
"Kalau kami di ICW melihatnya sederhana saja, Pilkada dan korupsi itu tidak hanya disebabkan oleh cost politik yang tinggi karena jual beli suara, tapi ada komponen lainnya," kata Almas.
Baca juga: ICW : Cost Politik Pilkada Hanya Satu dari Banyak Faktor Kepala Daerah Tergoda Korupsi
"Dan itu tidak mempunyai relevansi langsung dan tunggal. Jadi kenapa kemudian titik keluarnya adalah mencabut hak publik atau masyarakat memilih kepala daerah?" tanyanya.
Perempuan berkacamata itu juga meminta semua pihak mencermati kasus-kasus korupsi yang menjerat kepala daerah.
Banyak kasus tersebut tidak hanya melibatkan kepala daerah saja, namun juga anggota DPR dan DPRD.
Berdasarkan data yang dikumpulkan ICW dalam kurun waktu 2010-2019, tercatat sedikitnya ada 586 anggota DPR dan DPRD yang dipilih saat pemilu telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
Untuk tahun 2018 saja, Almas mengatakan jumlah anggota DPR dan DPRD yang tersangkut korupsi tergolong sangat tinggi yaitu ada 127 orang.
Menurutnya hal ini harus jadi pembelajaran berbagai pihak ketika mewacanakan opsi Pilkada tidak langsung, yang mana artinya kepala daerah dipilih oleh DPRD.
"Kita juga harus melihat problem di DPRD itu sendiri, apakah DPRD sudah merupakan lembaga yang bersih dari korupsi atau ini hanya akan melempar bandul jual beli suara antara sekarang pemilih dengan calon kepala daerah atau nanti antara anggota DPRD dengan calon kepala daerah. Menurut saya itu perlu kita lihat dan perhatikan," jelasnya.
"Kemudian jangan lupa fenomena korupsi di daerah itu banyak yang melibatkan aktornya tidak kepala daerah tunggal tapi melibatkan DPRD juga. Misalkan dalam pembahasan anggaran, laporan pertanggungjawaban anggaran, perubahan anggaran dll. Jadi fenomena ini fenomena korupsi di daerah kita harus melihatnya dari kacamata yang luas, tidak hanya problem di kepala daerah tapi juga di DPRD," pungkas Almas.