TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Bawaslu RI Abhan meyakini sanksi administrasi seperti diskualifikasi bagi calon yang melanggar aturan, paling ditakuti oleh para peserta pemilihan.
Menurutnya sanksi administratif juga lebih efektif dibandingkan pidana. Alasannya karena paslon lebih takut bila nama mereka dicoret dari ajang pemilihan tersebut.
"Paslon lebih takut dengan sanksi administratif terutama didiskualifikasi, itu sanksi yang paling ditakuti daripada sanksi pada pidana," kata Abhan seperti dikutip Tribunnews.com pada laman bawaslu.go.id, Kamis (5/11/2020).
Adapun katanya, ada sejumlah tindak pidana pemilu atau pilkada yang sering terjadi. Antara lain dukungan palsu untuk paslon jalur perseorangan.
"Ini berdasarkan pengalaman yang kami alami, yaitu pertama adalah dukungan palsu ke paslon perseorangan," katanya.
Baca juga: Bawaslu Ingatkan Jajaran Pengawas Daerah Tak Lakukan Pertemuan Tersembunyi dengan Peserta Pilkada
Kemudian ada juga pelanggaran soal keterangan palsu syarat pencalonan, atau aparatur sipil negara (ASN) maupun kepala desa yang melakukan perbuatan menguntungkan salah satu paslon.
Ada juga pelanggaran dalam bentuk mencoblos lebih dari satu kali, melakukan kampanye di tempat ibadah atau sarana pendidikan.
Selain itu, terjadi pula praktik politik uang, mahar politik, penyalahgunaan fasilitas dan anggaran pemerintah untuk kampanye.
"Ini terkait fasilitasi anggaran untuk kampanye apalagi di tengah pandemi covid-19 di beberapa daerah ada dugaan pidananya yaitu diduga melanggar Pasal 71 ayat 3 UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 terkait penyalahgunaan wewenang," jelas dia.
Penyalahgunaan program pemerintah juga kerap ditemui dalam bentuk paket bantuan sosial (bansos) yang diberi gambar atau simbol paslon tertentu. Padahal bansos itu berasal dari pemerintah. Pelanggaran terakhir yakni upaya mengubah perolehan suara tidak sesuai prosedur.
"Adanya potensi mengubah hasil perolehan suara tidak sesuai dengan prosedur," pungkas dia.