Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pakar Komunikasi Politik Effendi Gazali menyebut ada sejumlah sesat pikir soal pelaksanaan debat publik dalam ajang pesta demokrasi di Indonesia.
Sesat pikir pertama yakni keharusan pelaksanaan debat politik digelar secara meriah, bahkan mirip dengan sebuah pertunjukan.
"Entah siapa yang memulainya sampai debat itu harus meriah seperti sebuah pertunjukan," kata Effendi dalam webinar KPU RI, Jumat (6/11/2020).
Sesat pikir yang kedua yaitu pelaksanaan debat publik diselingi iklan komersial. Menurutnya hal ini cukup menyedihkan lantaran kehormatan pencarian pemimpin justru digadaikan kepada kapitalisme.
Baca juga: Akhyar Siapkan Jurus Menangkan Pilkada Medan, Ada Pembiayaan Fardhu Kifayah
Kata Effendi, tidak ada negara maju khususnya yang menyelipkan iklan komersial pada ajang debat politik mereka.
"Debat itu ada iklannya. Itu betul-betul menyedihkan. Kita menggadaikan kehormatan dari sebuah upaya mencari pemimpin yang baik kepada kapitalisme," kata dia.
"Coba tunjukkan kepada saya negara maju mana yang debat politiknya diselingi iklan," imbuhnya.
Baca juga: Sebanyak 1.364 Warga Seram Bagian Timur Tak Ber-KTP, Terancam Tak Bisa Coblos di Pilkada
Sesat pikir ketiga yaitu pertanyaan dalam debat politik justru dibocorkan atau diberikan kepada pasangan calon yang bertarung. Effendi berkaca dari pelaksanaan debat pemilihan presiden kemarin. Dia berharap hal serupa tidak terjadi di Pilkada Serentak 2020.
Menurutnya mereka yang khawatir tak mampu menjawab pertanyaan kejutan, seharusnya tak perlu repot - repot maju pemilihan.
"Mudah-mudahan ini nggak terjadi di Pilkada. Yaitu pertanyaan diberikan atau dibocorkan kepada pasangan calon. Pada debat presiden ini ya. Supaya apa? takut atau khawatir itu memalukan begitu ya?," ucap Effendi.
Baca juga: Hakim PTTUN Medan Meninggal Dunia Saat Menyidangkan Sengketa Pilkada Kabupaten Serdang Bedagai
"Kalau nggak mampu jawab pertanyaan jangan maju sebagai calon presiden, jangan maju sebagai calon kepala daerah," tegas dia.
Lanjut Effendi, sesat pikir terakhir yakni penyelenggara pemilu yang seakan sulit memilih moderator netral.
Padahal menurutnya banyak hal yang bisa disiasati oleh peserta debat saat berada di atas panggung. Seperti melontarkan gurauan soal keberpihakan, atau terus terang mengutarakan keberpihakan itu tapi dilanjutkan dengan jawaban yang baik.
"Sesat pikir selanjutnya adalah seakan-akan memilih moderator itu demikian susah karena dia pasti berpihak, karena dia pasti ada irisannya dengan berbagai hal lainnya," tuturnya.
Effendi berpesan bahwa debat publik yang sesungguhnya adalah debat yang harusnya bisa membuat penantang lebih menganggap betapa pentingnya sebuah ajang debat, ketimbang petahana.
"Saya ingin mengatakan debat publik yang sesungguhnya adalah debat publik yang lebih penting bagi penantang ketimbang petahana. Itu konsep debat publik," pungkas dia.