TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sejak tanggal 24 Maret 2019 lalu, kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden peserta Pilpes 2019 gencar melakukan rapat umum atau kampanye terbuka atau kampanye akbar.
Masing-masing kubu pendukung pasangan capres-cawapres semakin gencar, saling tanding banyak-banyakan dalam menggalang massa untuk menyukseskan kampanye akbar.
Apakah kampanye terbuka signifikan terhadap tingkat elektabilitas kandidat?
Menurut Analis Politik Pangi Syarwi Chaniago, hal tersebut tidak bisa menjadi tolak ukur.
“Kampanye gaya usang "lama" ini sepertinya tidak akan efektif. Hal ini setidaknya didasarkan pada beberapa alasan,” kata Pangi Syarwi Chaniago dalam keterangannya, Senin (8/4/2019).
Ada empat alasan yang dikemukakan Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting itu.
Pertama, Pangi Syarwi Chaniago berpendapat kampanye terbuka hanya untuk gagah-gagahan/show off force.
“Kampanye terbuka seringkali digunakan sebagai ajang gagah-gagahan dan unjuk kekuatan,” tutur Pangi Syarwi Chaniago.
Kedua, Pangi Syarwi Chaniago menilai kampanye terbuka bentuk inefesiensi anggaran.
Pangi menilai, Anggaran atau cost yang sangat besar yang dikeluarkan dalam model kampanye semacam ini dan kadang kadang tidak punya korelasi positif dengan semakin luasnya dukungan politik yang diperoleh masing-masing kandidat.
Ketiga, lanjut Pangi Syarwi Chaniago, tidak memperluas basis segmen pemilih.
“Hadirnya massa dalam jumlah besar tidak menjadi jaminan bahwa kemenangan menjadi milik kandidat tertentu,” tutur Pangi Syarwi Chaniago.
Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, mereka yang hadir sebagian besar sudah dipastikan akan mendukung kandidat yang bersangkutan.
“Namun sisanya mereka hanya ikut-ikutan dan yang pasti model kampanye semacam ini tidak akan menambah asupan elektoral yang signifikan terhadap kandidat,” tutur Pangi Syarwi Chaniago.