Iqbal membenarkan, HK berperan sebagai eksekutor bersama AZ, IR, dan TJ, sementara tersangka AD dan satu perempuan berinisial AF alias Vivi berperan sebagai penjual senjata api.
Polri juga berhasil mengungkap adanya perintah kepada tersangka untuk membunuh empat tokoh nasional dan satu pimpinan lembaga survei kepada tersangka dengan bayaran mencapai Rp 150 juta.
“Awalnya HK diperintahkan seseorang untuk membeli senjata api pada Oktober 2018 yang kemudian berhasil didapatkan dari AD dan AF pada 13 Oktober 2018, senjata yang didapatkan diserahkan juga pada AZ dan TJ."
"Kemudian pada Maret 2019 HK menerima perintah untuk membunuh dua tokoh nasional, pada 12 April 2019 ada perintah lagi untuk membunuh dua tokoh nasional lainnya plus satu pimpinan lembaga swasta, yaitu lembaga survei, sehingga total ada empat tokoh nasional yang jadi target,” ungkap Iqbal.
5. Rompi palsu polisi
Selain menyita berbagai jenis senjata api laras panjang maupun laras pendek, polisi berhasil menyita rompi anti peluru bertuliskan “POLISI” dari seorang tersangka penyusup di aksi unjuk rasa 21 dan 22 Mei 2019.
Menurut Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Mohammad Iqbal, rompi tersebut disita dari tersangka HK alias Iwan yang berbaur dengan ribuan peserta aksi unjuk rasa 21 Mei 2019 di depan Kantor Bawaslu RI.
Polri juga mengungkap HK berbaur sambil membawa senjata api jenis revolver taurus 38 pada aksi unjuk rasa tersebut.
“Dari tersangka HK kami menyita rompi antipeluru bertuliskan “POLISI”, benda ini untuk apa sedang kami dalami, dan bagaimana cara mendapatkannya,” ujar Iqbal sambil menunjukkan rompi hitam dengan tulisan “POLISI” berwarna putih.
Rompi itu ditunjukkan Iqbal dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (27/5/2019).
Iqbal menduga rompi tersebut digunakan untuk memfitnah institusi Polri dalam aksi unjuk rasa berujung kerusuhan tersebut.
“Kami menduga rompi ini digunakan untuk meminjam profesi kami untuk melakukan kekerasan,” tegasnya.
Batu di dalam Ambulans berlogo Gerindra
Kepolisian sudah menetapkan lima orang sebagai tersangka kasus ambulans yang membawa batu saat aksi 22 Mei.
Kelima tersangka tersebut merupakan orang yang berada di ambulans bernomor polisi B 9686 PCF.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Argo Yuwono mengatakan lima tersangka tersebut merupakan dua pengurus DPC Gerindra Tasikmalaya, yakni Wakil Sekretaris, Obi (O) dan Sekretaris, Iskandar (I), satu sopir bernama Yayan (Y), dua penumpang Hendrik Syamrosa dan Surya Gemara Cibro.
Kelimanya dijerat dengan Pasal 55, 56 kemudian Pasal 170, 212, 214 KUHP dengan ancaman lima tahun ke atas.
Meski bertujuan untuk membantu korban pada aksi unjuk rasa 22 Mei, nyatanya mobil ambulans milik DPC Partai Gerindra Tasikmalaya tersebut tidak membawa alat medis.
Menurut Argo Yuwono tiga orang yang membawa mobil tersebut dari Tasikmalaya pun tidak memiliki kualifikasi sebagai petugas medis.
"Tiga orang ini tidak mempunyai kualifikasi sebagai petugas medis. Dua di mobil tersebut tidak ada peralatan medis," ujar Argo di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (23/5/2019).
Argo mengungkapkan barang yang ditemukan berada di dalam mobil tersebut hanya batu.
Padahal, ambulans tersebut ditugaskan pengurus pusat Partai Gerindra untuk mengangkut korban kerusuhan 22 Mei.
"Ketiga yang ada hanya batu yang sudah kita tunjukan," tutur Argo.
Diketahui mobil ambulans inventaris DPC Partai Gerindra Tasikmalaya tersebut terdaftar sebagai milik PT Arsari Pratama.
"Mobil ini atas nama PT Arsari Pratama yang beralamat di Jakarta Pusat," ujar Argo, Kamis (23/5/2019).
Berdasarkan penelusuran Tribunnews.com di situs resmi DPR, menyebutkan bahwa keponakan Prabowo Subianto yang juga anggota DPR dari Gerindra, Aryo Djojohadikusumo merupakan Komisaris dari PT Arsari Pratama dari 2008 hingga kini.
(Tribunnews.com/Chrysnha, Rizal Bomantama, Fahdi, Chaerul/TribunJakarta.com)