"Karena sembilan hakim MK itu duduk bersama dan adu argumen disitu. Kalau misalnya dia adu argmen mengada-ada, membela yang tidak benar atau membenar-benarkan yang salah, itu akan ketahuan saat argumentasi," ujar dia.
Hal itu berbeda dengan putusan di luar MK yang terkadang hakim membuat analisis sendiri tanpa disertai argumen.
"Kalau di MK, argumen harus disampaikan bersama-sama di sidang sehingga bisa didebat oleh orang lain. Di situ antar hakim bisa saling tuding, adu literatur, akan ada yang bisa sampai berdiri menggebrak meja itu sudah biasa terjadi. Proses di RPH seperti itu dan saya kira itu yang berlangsung," tutur dia.
4. Mahfud Anggap Hakim Lebih Mudah Putuskan Perkara
Mahfud MD menganggap dalam sidang MK saat ini, hakim MK lebih mudah untuk memutuskan perkara dibanding kasus sengketa Pilpres di 2009.
Hal ini karena dalam sidang MK kali ini tidak ada adu bukti dan adu dokumen.
Berbeda dengan sidang MK 2009 yang menurut Mahfud diwarnai adu bukti dan adu dokumen.
"Lha yang sekarang ini kan nggak ada adu bukti ya. Misalnya klaim bahwa paslon 01 mendapat 52 persen kemudian paslon 01 mendapat 48 persen. Klaim itu sama sekali tidak dibuktikan. Kan tidak ada kemarin, 52 persen ini terjadi di sini , 52 persen ini formulir nomor sekian nomor sekian, ini buktinya," ungkap dia.
Baca: Prabowo dan Sandi Akan Nobar Sidang Putusan MK di Kertanegara Besok
Secara kualitatif, Mahfud juga menilai tidak ada bukti yang disajikan di persidangan.
Misalnya soal DPT ganda dan KTP palsu, tidak membuktikan langsung terhadap perolehan suara.
Soal kesaksian tentang Situng juga dianggap Mahfud hanya membuang-buang waktu karena Situng tidak dipakai sebagai dasar penghitungan suara.
"Sehingga (kali ini) gampang, memudahkan memutuskannya," kata Mahfud.
(Tribunnews.com/Daryono)