Ia adalah putri ‘Umar bin al-Khattab, salah seorang pembela utama Nabi sekaligus satu di antara empat khalifah ar-Rasyidun.
Hafshah dinikahi Rasulullah sekitar tahun 625, dan menjadi istri keempatnya.
Akan tetapi beberapa sumber mengatakan bahwa hubungan mereka sangat singkat, lalu beliau menceraikannya.
Sumber lain menggambarkan bahwa Hafshah adalah perempuan yang sangat pandai dan melek huruf.
Bahkan satu sumber mengatakan bahwa Hafsha memprotes suaminya atas relevansi ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran.
Mengenai peran Hashah dalam kodifikasi Al-Quran, Profesor Ruqayya Khan, ketua Islamic Studies di Claremont Graduate University, California, merilis sebuah penelitian yang ia beri judul: “Did a Woman Edit the Quran? Hafsa’s Famed Codex.”
Khan mengklaim bahwa Hafshah telah mentranskrip, dan kemudian menyebarkan ayat-ayat Al-Quran.
Menurutnya, ini sangat menarik di tengah gelombang pendiskreditan perempuan.
Pada kenyataannya, Hafshahlah satu-satunya istri Nabi yang memiliki kecerdasan intelektual melebihi istri-istri yang lain.
Dia berpikir, berdebat, dan selalu mengajukan pertanyaan. Dari semua istrinya, ia mungkin satu-satunya yang dapat membaca dan menulis.
Beberapa dari mereka mungkin mengerti cara pelafalan sesuatu, tetapi mereka tidak mengetahui cara menulisnya.
Dalam hal ini, Khan mengutip sebuah riwayat Abdullah bin Wahb (w. 812 H) yang bersumber dari Urwah bin Zubair (w. 712 H), seorang ahli hukum Madinah yang terkenal dan perintis penulisan sejarah.
Di dalamnya, Hafshah dengan jelas digambarkan sebagai sosok yang fasih melafalkan, menulis, bahkan mengedit materi Al-Quran.
Pada satu kesempatan, Nabi Muḥammad menginstruksikan Hafshah menuliskan ayat-ayat Al-Quran untuknya. Demikian pula, ayahnya, Umar, menganggapnya sebagai otoritas dalam bidang Al-Quran, baik lisan dan tulisan, karena suatu ketika ia pernah mencarinya untuk memilah-milah bacaan dari ayat-ayat Al-Quran.