Laporan Wartawan Tribun Jogja Fajar S Kurniawan dan Ign Sigit Widya
TRIBUNNEWS.COM, COM - RATUSAN hektare tanaman salak tak lagi hijau. Daun dan batangnya memutih diselimuti abu vulkanik yang mengguyur saat gunung Merapi meletus Selasa (27/102010) serta letusan-letusan dahsyat setelahnya.
Juga dengan pepohonan yang biasanya membuat suasana menjadi sejuk, kini tak lagi berdiri tegak dengan daun hijau yang menyegarkan.
Pemandangan itulah yang menyambut siapa saja, termasuk kami, yang Senin (8/11/2010) memasuki Desa Srumbung Magelang. Desa itu merupakan satu diantara beberapa desa lain yang telah mati akibat letusan Merapi.
Suasana mencekam itu sudah kami rasakan beberapa kilometer sebelum masuk ke kawasan itu. Betapa tidak, tiang jaringan listrik yang biasanya berdiri kokoh, sudah kami jumpai dalam perjalanan siang itu.
Debu yang cukup tebal dan mulai mengeras di aspal jalanan menuju desa itu, menjadi pemanis perjalanan kami. Apalagi, siang yang terik itu membuat debu vuklanis dengan mudah terbang disapu angin.
Batu-batu juga masih berserakan di jalan. Bahkan bebatuan dengan ukuran sangat besar, sangat mudah dijumpai di Kali Putih yang berada tak jauh dari jalan yang kami lalui menuju Srumbung.
Setelah memacu sepeda motor dengan diselimuti debu yang berterbangan, akhirnya kami sampai juga di Pos Pengamatan Gunung Merapi Ngepos. Tempat itu berada berada di Dusun Ngepos Kelurahan Srumbung Kecamatan Srumbung Magelang.
Pos yang hanya berjarak delapan kilometer dari puncak Merapi itu, kini tak lagi ada kesibukan apa-apa. Padahal, pada hari-hari sebelum Merapi memuntahkan Wedhus Gember pada 27 Oktober petang, tempat tersebut terlihat sibuk.
Seperti juga rumah-rumah warga yang kami jumpai sebelum sampai di tempat itu, bangunan yang terbuat dari baja itu, terlihat seperti gedung tua nan angker. Yang terlihat pada gedung yang berdiri pada 1935 hanyalah sisa-sisa material vulkanis.
Di sekitar bangunan yang dibangun N.V. Constructie Atelier, sebuah perusahaan Belanda di Yogyakarta, terlihat jejak motor dan beberapa langkah sepatu. ”Kampung ini benar-benar telah mati,” gumam kami.
Setelah meninggalkan pos pemantau itu, kami melaju beberapa ratus meter menuju Pasar Desa Srumbung. Beberapa lapak terlihat terlantar ditinggalkan si empunya. Beberapa meja teronggok, atap seng pun porak poranda. Kondisi itu benar-benar menjadi saksi, bila material vulkanis Merapi cukup kejam menghantam kawasan itu.
Beberapa langkah dari pasar, ada setumpuk vallbot alias bekas botol infus. Entah digunakan apa puluhan cairan infus itu. Sebab, tidak ada seorang pun yang bisa kami mintai keterangan. Jangankan manusia, binatang saja tak terlihat di kawasan itu.
Kami mencoba untuk memacu sepeda motor kami dengan laju hanya 20 km/jam. Sambil tengak kanan kiri, kami berharap ada orang yang bisa memberikan informasi tentang kondisi itu.
Tapi, lagi-lagi kami harus kecewa, karena tak seorang pun bisa kami jumpai. Di kanan kiri jalan yang kami lalui hanya terlihat bekas rumah warga yang telah ambruk dan pepohonan yang mati.
Ketika rasa putus asa mulai menghantui, kamipun mencoba berhenti sejenak di bekas bangunan bengkel yang sudah porak poranda. Selang beberapa menit, harapan pun muncul berbarengan dengan datangnya seorang laki-laki paruh baya yang berumur sekitar \setengah abad.
Trimo, begitu dia memperkenalkan namanya, menyapa kami dengan senyum lebar, meski giginya sudah sudah tak lengkap lagi. Dia kemudian bercerita panjang lebar tentang keadaan Desa Srumbung pascaerupsi Merapi beberapa hari lalu.
”Sekitar 700 batang pohon salak saya rusak kena abu. Tidak apa-apa, setelah abu datang, tanah kan jadi subur. Saya yakin, salak akan tumbuh sumbur lagi dan buahnya makin banyak,” katanya optimistis.
Meski merasa optimistis, Trimo tidak tahu bagaimana warga di Desa Srumbung akan membangun rumahnya yang telah hancur. Sebab, dibutuhkan puluhan juta rupiah untuk itu.
Padahal, letusan Merapi telah membuat mereka kehilangan segalanya.Jangankan uang untuk membangun rumah, biaya hidup saja sudah susah. ”Pasrah saja,” katanya singkat.
Obrolan dengan Trimo yang cukup asyik itu, membuat kami lupa waktu. Tanpa sadar, langit mulai gelap. Karena khawatir terjadi sesuatu dengan Merapi, kami pun memutuskan untuk pamit dan memacu sepeda motor ke arah Muntilan.
Meski debu di kawasan ini masih cukup tebal, tapi kami merasa lega begitu tiba di Muntilan. Setengah jam kami memacu sepeda motor menuju Yogjakarta dengan diselimuti debu Vulkanis.
Mencekam... Tiang Listrik Bertumbangan
Editor: Prawira
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger