"Setelah pembangunan rumah-rumah itu, pemerintah Jambi mendatangkan orang-orang untuk tinggal di sana. Tetapi mereka tidak bertahan lama. Kalau tak salah saya, hanya beberapa bulan saja, terus mereka pergi lagi," tutur Bahasir, ketua RT setempat.
Ia tidak mengetahui apa alasan warga tersebut meninggalkan Pulau Berhala. Ia menduga, mereka tidak bisa beradaptasi dengan pekerjaan sebagai nelayan. Sedangkan untuk berkebun, tanah Berhala tidak cocok sebab bebatuan tersebar di mana-mana.
Ketika Kabupaten Lingga dan Propinsi Kepri terbentuk, pembangunan rumah itu masih terus berlangsung.
Pemprov Kepri kemudian membangun 30 unit rumah pada tahun anggaran 2006-2007. Rumah-rumah itu terbangun dari batu bata dengan tipe yang sama seperti sebelumnya dan tersebar di beberapa lokasi di bagian utara, timur, dan tengah Pulau Berhala.
Selanjutnya, Pemprov Kepri kembali membangun tiga unit rumah lagi.
"Pembangunan kantor desa, sekolah, dan Puskemas Pembantu juga dibangun Pemkab Lingga, Provinsi Kepri. Selain pembangunan, Pemkab Lingga dan Pemprov Kepri juga membatu pompong (kepada nelayan)," tambah kepala Desa Pulau Berhala, Encik Syarif.
Ia mengakui bahwa banyak orang menyebut pihaknya bersikap dualisme untuk bantuan dari dua pemerintahan yang kini berebut pulau tersebut. Namun bagi dia, selama ini hanya menerima bantuan dari Kepri saja.
Perebutan pulau ini memang sudah lama, yakni sejak adanya pemekaran Tanjabtim ketika disahkannya UU nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi.
Kemudian pada 2002, lahir pula UU nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Kedua pemerintahan lantas saling memasang plang dan tanda-tanda pengakuan atas pulau Berhala.
Maka pada saat itu, kedua belah pihak saling berlomba membangun di pulau yang berada sebelah timur pulau Sumatera ini.