News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Dana BOS SDN Sinarjaya Diduga Diselewengkan

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ilustrasi

TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG BARAT - Para orang tua murid Sekolah Dasar (SD) Negeri Sinarjaya, Desa Batujajar Timur, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat (KBB), menduga dana bantuan operasional sekolah (BOS) di sekolah itu diselewengkan.

Dana yang seharusnya dipergunakan untuk membiayai berbagai keperluan siswa dan sekolah diduga malah digunakan untuk keperluan pribadi kepala sekolah yang kini telah berpindah tugas.

Tak tanggung-tanggung, dugaan penyelewengan dana BOS tersebut disinyalir berlangsung selama lebih dari empat tahun. Selama itu pula, pihak sekolah kerap melakukan sejumlah pungutan terhadap ratusan murid di sekolah itu. Padahal, semua murid telah di-cover oleh dana BOS.

Salah seorang orang tua murid SD Sinarjaya, sebut saja Beny (bukan nama sebenarnya), mengatakan, sudah sejak lama para orang tua di sekolah itu mempertanyakan kebijakan pihak sekolah yang kerap melakukan pungutan yang dibebankan kepada para murid. Menurut dia, pungutan tersebut sudah terjadi selama empat tahun lebih atau sejak anaknya duduk di kelas 1 hingga saat ini kelas 5.

Hanya saja, kata dia, tak ada satu pun orang tua murid yang berani memprotes kebijakan sekolah karena khawatir anak-anak mereka yang akan terkena dampaknya. Meski keberatan, mereka tetap membayar pungutan yang diberlakukan pihak sekolah kepada para murid karena khawatir anak mereka dipersulit oleh pihak sekolah.

Pungutan yang diberlakukan oleh pihak sekolah antara lain pungutan untuk mengecat tembok sekolah. Meski hanya Rp 1.500 per murid, menurut dia, pungutan tersebut sama sekali tidak masuk akal. Sebab, menurut aturan penggunaan dana BOS yang tercantum dalam petunjuk teknis (juknis) dari Kemdikbus, dana BOS dapat digunakan untuk pembiayaan perawatan sekolah seperti pengecatan, perbaikan atap bocor, perbaikan pintu dan jendela, perbaikan perabot, dan perawatan lainnya.

"Setahu kami untuk mengecat tembok itu dana BOS yang menanggungnya. Tapi anak kami malah diminta lagi," kata Beny saat ditemui Tribun di rumahnya di kawasan Batujajar, akhir pekan lalu.

Tak hanya itu, sejak anaknya kelas 1 hingga kelas 5, pihak sekolah selalu memungut biaya fotokopi ulangan dan ujian seperti UTS dan UAS. Padahal, dalam aturan disebutkan bahwa salah satu peruntukan dana BOS adalah untuk pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar murid (misalnya untuk fotokopi/penggandaan soal, honor koreksi ujian, dan honor guru dalam rangka penyusunan rapor siswa).

"Katanya ada dana BOS, tapi sejak kelas 1 hingga sekarang kelas 5, anak-anak kami selalu dipungut. Jadi, dipakai apa dana BOS-nya?" kata dia, yang wanti-wanti agar namanya tak ditulis.

Dilihat dari segi nominal, kata dia, pungutan yang dilakukan oleh pihak sekolah memang tidak terlalu besar, yakni hanya berkisar Rp 1.500 hingga Rp 2.000 per murid. Namun nominal tersebut akan menjadi besar karena di sekolah itu ada lebih dari 500 murid. "Coba kalikan dua ribu dikali 500 murid saja, sudah berapa. Uangnya itu dikemanakan? Dipakai apa?" kata dia.

Orang tua murid lainnya, Robby (43), juga bukan nama sebenarnya, mengeluhkan hal serupa. Robby, yang anaknya juga saat ini duduk di kelas 5, membenarkan pernyataan Beny. Menurut dia, kebijakan sekolah selama sekitar 4 tahun terakhir sangat bertentangan dengan semangat pemerintah yang menggratiskan biaya pendidikan hingga tingkat SMP agar tidak memberatkan para orang tua murid.

Ia mengaku tidak habis pikir mengapa pihak sekolah SD Sinarjaya memungut iuran untuk biaya UTS dan UAS dari para muridnya. Padahal, kata dia, anak tetangganya yang bersekolah di SD lain sama sekali tidak pernah dipungut iuran untuk membeli soal.

"Di SD Sinarjaya aja yang dikenakan biaya. Makanya saya selaku orang tua sangat aneh, kok masih ada sekolah yang mengharuskan murid bayar hanya untuk mengikuti ujian," kata dia.

Khusus untuk pengecatan tembok sekolah sendiri, setahu dia, pihak sekolah kerap bekerja sama dengan sebuah perusahaan provider seluler. Menurut dia, berdasarkan informasi yang ia dapat, pihak perusahaan bersedia mengecat tembok sekolah tersebut dengan kompensasi pihak sekolah memajang merek nama peruahaan provider tersebut.

"Jadi, kalau memang ngecat sekolah ditanggung oleh perusahaan, kenapa murid harus dipungut lagi? Dipakai apa, dong, uang yang dipungut itu?" ujar Robby.

Pungutan tersebut, kata dia, terjadi sejak anaknya duduk di kelas 1 hingga anaknya naik ke kelas 5 atau selama sekolah itu dipimpin oleh kepala sekolah lama, yakni Yayat Subaryat, yang saat ini telah berpindah tugas dan menjadi kepala sekolah di kecamatan yang sama, yakni di SD Negeri Batujajar 1.

Ia pun mempertanyakan alokasi penggunaan dana BOS yang seharusnya buat 13 peruntukan tersebut. Secara logika, kata dia, dengan diberlakukannya pungutan oleh pihak sekolah kepada para murid, artinya dana BOS yang memang sudah mengalokasikan anggaran untuk berbagai keperluan sekolah dan menunjang kegiatan murid tidak digunakan oleh pihak sekolah.

Berbekal rasa penasaran terhadap keganjilan penggunaan dana BOS itu, sejumlah orang tua murid pun melakukan penyelidikan untuk mengetahui ke mana larinya dana BOS untuk murid tersebut. Kecurigaan para orang tua murid pun, kata dia, mengarah kepada sang kepala sekolah.

Apalagi, kata dia, sejak pindah ke SD Negeri Sinarjaya, gaya hidup sang kepala sekolah, Yayat, mulai berubah total. Ia menyebut, menjelang masa akhir jabatannya di sekolah itu, Yayat mampu membeli sebuah mobil jenis minibus yang mewah untuk ukuran seorang guru. Padahal, kata dia, sebelumnya Yayat hanya menggunakan sepeda motor jenis bebek tiap kali ke sekolah.

"Banyak orang tua murid yang bertanya-tanya kok bisa dia (Yayat, Red) beli mobil baru. Padahal, kami tahu, dia enggak punya usaha lain, selain jadi kepala sekolah," kata Robby.

Jika hanya mengandalkan gajinya sebagai kepala sekolah, kata dia, membeli sebuah mobil akan sangat sulit dilakukan oleh seorang guru kecuali jika mereka memiliki penghasilan tambahan atau usaha sampingan di luar jabatannya sebagai kepala sekolah.

"Saya dan orang tua lainnya tidak bermaksud untuk menuduh. Tapi aneh saja, kok bisa dia tiba-tiba jadi orang kaya baru setelah jadi kepala sekolah di SD Sinarjaya. Bahkan bisa beli mobil baru," tanya dia keheranan. (Tribun Jabar/Zezen M Zaenal)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini