“Kecuali ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa anggota keluarga koruptor tersebut terlibat dalam tindakan korupsinya,” kata dia.
Hanya saja, kata Erwan tidak semua hal memang harus diatur lewat hukum formal. Tapi, bila bicara tentang kepatutan, tentunya mengusung keluarga pelaku korupsi dalam sebuah ajang kontestasi Pilkada, dari fatsun politik kurang elok.
“Kurang eloklah, anggota keluarga koruptor maju dalam Pilkada,” kata dia.
Tapi, lepas dari semua itu, masyarakat juga diharapkan secara cerdas bisa mensikapi hal tersebut tersebut. Misalnya dengan tidak memilih calon-calon yang integritasnya diragukan.
Sedangkan, Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, Hifdzil Alim, mengatakan, partai yang mencalonkan napi atau keluarga napi korupsi, sepertinya tak memiliki referensi yang cukup mengenai calon yang akan diusung. Ini membuktikan, partai tidak serius menyiapkan calon yang akan diusung dalam Pilkada atau pemilihan legislator, yang kapabel dan antikorupsi.
“Ini sebenarnya, bisa jadi berita buruk terhadap upaya pemberantasan korupsi. Sebab, mereka yang jadi pemangku kekuasaan, merekalah yang menyiapkan perangkat hukum untuk pemberantasan korupsi,” kata Hifdzil.