Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi dengan tegas mengatakan pihaknya akan tetap memasukkan klausul pembatasan politik dinasti dalam RUU Pilkada. Menurut dia, pembatasan itu diperlukan. Meski ia menyadari itu akan menuai pro dan kontra.
"Klausul politik dinasti, kita bertahan dengan itu. Ya, kita tahu ada yang setuju, ada yang tidak. Yang tak setuju itu bertentangan dengan HAM," katanya.
Namun menurut dia, pembatasan itu tak melanggar atau bertentangan dengan HAM. Gamawan pun membandingkannya dengan penerimaan pegawai negeri.
"Sama dengan masuk pegawai, akan ada pembatasan. Orang yang sudah berumur sekian," ucapnya.
Pembatasan politik dinasti itu sendiri tak bersifat total dan permanen. Misalnya, dibatasi untuk satu periode saja. Maka ketika salah satu keluarga itu memimpin, katakanlah menjadi kepala daerah, maka periode berikutnya tak boleh keluarganya mencalonkan.
"Satu periode saja, lalu terputus. Setelah itu boleh," jelasnya.
Terkait maraknya istri mantan kepala daerah yang maju pilkada padahal suaminya pernah terjerat kasus korupsi, Gamawan mengatakan hal itu memang dilematis. Ada yang mengatakan itu adalah hak politik seseorang. Namun banyak pula yang berpendapat itu tak etis. Karena itu kesadaran rakyat yang harus dibangun. Rakyat harus disadarkan untuk mampu memilih pemimpinnya yang kapabel dan kredibel.
"Mestinya rakyat yang membatasi (keluarga koruptor). Harusnya ada kesadaran politik," katanya.
Sayangnya budaya malu di negeri ini, kata Gamawan, belum terbangun. Di negara maju, tak perlu ada pembatasan lewat regulasi. Begitu merasa dirinya tak pantas maju, maka ia akan mundur.
"Di Amerika, terlibat skandal, dia atau keluarganya langsung mundur. Kita berharap seperti itu. Kedewasan politik tak dilihat dari arturan, tapi itu lewat tangan demokrasi. Lewat pendidikan politik rakyat. Atau melalui media," tandasnya.