TRIBUNNEWS.COM, TAKENGON - Ratusan orang berdemo di depan Gedung DPRK Aceh Tengah, Kamis (19/9/2013), menolak Qanun Lembaga Wali Nanggroe (LWN), termasuk rencana pengukuhan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe Ke-9.
Massa yang berunjuk rasa terdiri atas sejumlah elemen mahasiswa dan masyarakat dari tiga kabupaten bertetangga, Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues. Selain mahasiswa juga ikut relawan Pembela Tanah Air (PeTA) Aceh Tengah dan Bener Meriah, serta Laskar Merah Putih.
Mereka berdemo dengan membentangkan bendera Merah Putih berukuran 100 x 6 meter di atas kepala mereka yang sekaligus berfungsi sebagai pelindung dari sengatan terik matahari.
Ketua Laskar Merah Putih Aceh, Drs Rizalihadi mengawali orasi pukul 10.00 WIB. Dengan suara lantang dia katakan, semua masyarakat yang mewakili etnis yang ada di Gayo harus menolak Qanun LWN yang dinilai sebagai bentuk rasisme dan mencederai demokrasi Indonesia.
"Qanun itu merupakan bentuk separatisme baru terhadap NKRI. Tentu kita harus melawannya, karena telah bertentangan dengan empat pilar kebangsaan," katanya.
Para orator saling bergantian naik panggung yang sengaja didirikan di lapangan, lengkap dengan soundsystem. Sejumlah sesepuh PeTA seperti Cemerlang, Ir Tagore Abubakar, Adijan, dan sejumlah mantan kombatan seperti Ramdana dan Alfakir, ikut berteriak menolak Qanun LWN. Mereka malah menuntut pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA).
Mereka juga sempat memaki sejumlah anggota dewan setempat karena tak hadir menemui mereka. Belakangan hanya empat anggota dewan yang datang menemui dan ikut membacakan spanduk yang bertuliskan menolak Qanun LWN. Mereka adalah
Takwa dan Ramianty (Partai Golkar), Bardan Sahidi (PKS), dan Erlina (Partai Demokrat).
Massa juga mengecam jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kemarin sore tiba di Banda Aceh melantik WN, karena hal itu mereka nilai merupakan sebuah kelemahan terhadap Pemerintah RI.
"Keberadaan WN telah menciptakan perpecahan antarsuku dan etnis di Aceh, bukannya sebagai pemersatu. Jika ini dibiarkan terus, maka bisa berpotensi perang suku, karena suku minoritas seperti Gayo, Aneuk Jamee, Tamiang, Alas, bahkan Batak, Padang, Jawa, Ambon, dan semua suku yang ada di Aceh akan terkucilkan. Pemerintah pusat harus mencermati ini. Ini awal dari konflik baru," kata Cemerlang, sesepuh PeTA Aceh.
Demo yang dikawal puluhan polisi ini diselingi dengan aksi bakar kemenyan di dalam tempurung kelapa oleh mahasiswa Gayo Lues yang mencat mukanya dengan warna merah putih. Seusai siang, demo pun berakhir setelah aksi pembubuhan tanda tangan darah di atas kain oleh para pendemo.
Anggota DPRK Aceh Tengah, Bardan Sahidi mengatakan, pihak DPRK menerima kehadiran sejumlah elemen masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasinya menolak Qanun LWN.
"Kita memang prihatin, hanya empat anggota yang hadir. Namun, saya ingin jelaskan bahwa penolakan terhadap Qanun Wali Nanggroe sudah diparipurnakan oleh DPRK Aceh Tengah pada 11 september 2012. Ini artinya, secara kelembagaan DPRK Aceh Tengah sudah menolak qanun itu," ujar politisi PKS ini.
Menurut Bardan, pihaknya berkomitmen menyampaikan aspirasi pengunjuk rasa dan membubuhi tanda tangan dengan darah. "Selanjutnya akan kita sampaikan lagi tuntutan mereka ke Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Aceh Tengah," kata Bardan. (gun)