TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Faktor ekonomi dan kemiskinan menjadi pemicu utama terjadinya kasus trafficking (perdagangan manusia) di Aceh akhir-akhir ini. Selain itu, faktor lain yang mendukung terjadinya kasus ini adalah karena ketidaktahuan korban dan faktor mencari lapangan kerja.
Demikian diungkapkan Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh, Dahlia MAg kepada Serambi (Tribunnews.com Network) akhir pekan lalu. Ia menjelaskan, untuk menghindari terjadinya trafficking yaitu dengan tidak mudah percaya dengan tawaran pekerjaan yang menjanjikan gaji besar dan memastikan perusahaan terdaftar resmi di pemerintah.
"Apabila sudah terdaftar secara resmi, keluarga pun akan mudah mencarinya. Pengurusan perpanjangan paspor dapat dikoordinasikan melalui lembaga tersebut yang juga memiliki perwakilan di Malaysia, serta lembaga ini juga memulangkan tenaga kerja yang bermasalah," jelasnya.
Menurut Dahlia, usaha lain untuk menghindari kasus trafficking pihaknya terus melakukan sosialisasi ke kabupaten/kota serta penguatan ekonomi melalui pelatihan keterampilan kerja.
"Apabila sudah memiliki keterampilan bekerja, maka tidak perlu lagi mencari pekerjaan di tempat orang melainkan dapat menciptakan lapangan kerja di tempat sendiri," ujarnya.
Menurutnya kasus trafficking tersebut belum dapat diatasi sampai tuntas, meski ada beberapa pelaku yang berhasil ditangkap oleh pihak polisi. Namun, kata Dahlia para pelaku ini memiliki jaringan yang tidak mudah untuk diketahui, serta identitas dan plat mobil yang digunakan dapat diganti maupun ditukar.
"Saat dicek ke desa tempat tinggalnya, namanya sudah lain lagi. Kasus trafficking banyak terjadi berdasarkan laporan dari masyarakat yang kita terima. Namun untuk mengungkapkan kasus ini sulit dilakukan, karena pekerjaan mereka terkoordinir dengan rapi," ungkap Dahlia.
Menurutnya kasus ini baru terungkap saat ada korban yang melarikan diri atau dibuang di kebun-kebun karet. Hal itu dilakukan pelaku, karena para korban sudah tidak berguna lagi bagi orang-orang yang sudah membeli mereka dari agen maupun germo. Umumnya korban trafficking mengalami gangguan jiwa, stres, dan sering berbicara sendiri. Hal itu
terjadi karena selama berada di tangan pelaku korban tidak diperlakukan secara manusiawi, hak-haknya tidak dipenuhi seperti untuk dapat berkomunikasi dengan keluarga, saat sakit tidak diobati, tidak diberi upah dari pekerjaannya, dan mengalami kekerasan.
Dahlia menambahkan para korban dipaksa untuk bekerja agar target yang diharapkan pelaku dapat terpenuhi. Para korban trafficking ini dijual ke Malaysia, Thailand, Singapura, Jakarta, dan Medan.
Sebab itu, ia mengimbau agar para orangtua dapat mengawasi dan menjaga anak-anaknya agar tidak menjadi sasaran trafficking. Karena pelaku bisa saja orang-orang terdekat maupun di sekeliling korban.
"Secara nasional pelaku trafficking merupakan orangtuanya sendiri yang tak sanggup menafkahi. Di Aceh hal itu belum terjadi, tapi orang lain mendatangi anak-anak maupun perempuan dari keluarga miskin dengan diiming-imingi pekerjaan dan gaji besar," ungkapnya.
Selain sasarannya dari keluarga miskin, menurutnya kasus trafficking juga terjadi pada korban yang ingin berpenampilan mewah. Maka dengan diiming-imingi uang, korban akan menuruti keinginan pelaku dan kemudian dijual untuk dijadikan pekerja seks ataupun pembantu rumah tangga.(hs)