Tribunnews,com, Yogyakarta - Ribuan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, Selasa (5/11/2013) dini hari mengikuti tradisi "Tapa Bisu Lampah Mubeng Beteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat." Tradisi ini merupakan bagian dari peringatan malam tahun baru Jawa yang bertepatan dengan malam tahun baru Hijriah.
Tradisi Mubeng Beteng dimulai sekitar pukul 00.00 WIB, dari Bangsal Pancaniti, keben Keraton Yogyakarta. Setelah melantunkan doa-doa, prosesi dilanjutkan dengan berjalan mengelilingi benteng keraton.
Prosesi arak-arakan berjalan dari Bangsal Pancaniti, melewati Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, Suryowijayan, Pojok Beteng Kulon, Jl MT Haryono, Pojok Beteng Wetan, Jl Brigjen Katamso, Jl Ibu Ruswo, dan berakhir di Alun-alun Utara. Jarak yang ditempuh sekitar 6 kilometer.
Tradisi "Tapa Bisu Lampah Mubeng Beteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat" merupakan kegiatan yang dimaknai sebagai bentuk perenungan diri berupa tirakat atau lelaku. "Selama perjalanan kita sambil berdoa dalam hati, dan sekaligus melihat perjalanan hidup selama setahun lalu," terang Bismo (43), salah satu warga yang mengikuti tradisi ini.
Selama tirakat atau lelaku mengelilingi benteng, masyarakat dilarang berbicara, minum, maupun merokok. Perjalanan berlangsung dalam keheningan total, sebagai simbol keprihatinan sekaligus evaluasi terhadap segala perilaku dan perbuatan selama setahun terakhir.
"Setelah mengikuti tradisi ini, harapannya setiap individu dapat mawas diri dan meninggalkan perilaku buruk di tahun-tahun lalu," ujar Bismo. Tradisi "mubeng beteng" dimulai sejak pemerintahan Kerajaan Mataram di Kotagede.
Para prajurit keraton saat itu rutin mengelilingi benteng keraton untuk menjaga keamanan dari ancaman musuh. Dalam perkembangannya, tradisi ini tak lagi dilakukan prajurit tetapi oleh abdi dalem dan kemudian masyarakat awam pun diizinkan.