TRIBUNNEWS.COM, SOLO - Kebebasan mengakses jaringan internet di jaman kiwari, ternyata seperti pedang bermata dua.
Di satu sisi, kebebasan tersebut bisa berimbas positif bagi para pemuda untuk menambah informasi dan ilmu pengetahuan. Tapi, kebebasan itu juga bisa berdampak negatif terhadap pemuda yang memiliki niat jahat.
Itu seperti yang terjadi pada Erasmus Ardian Jati Nugroho (29), warga Mojokulon, Sragen; dan, Rival Dwi Kuncoro (19), warga Mlopoharjo, Wonogiri.
Kedua pemuda itu, ditangkap aparat polisi lantaran tengah meracik bom. Keduanya, menurut Kasatreskrim Polresta Solo Komisaris Rudi Hartono, mengakui belajar meracik bom dari internet.
"Mereka memang mengakunya iseng membuat bom, setelah belajar dari internet. Tapi kami tengah menelusuri, keterkaitan mereka dengan jaringan teroris," kata Rudi Hartono, Kamis (7/11/2013).
Karenanya, Rudi mengharapkan masyarakat tidak perlu khawatir dengan tertangkapnya kedua tersangka tersebut. Pihaknya sedang mendalami temuan tersebut.
Informasi yang dikumpulkan Tribun dari Polda Jateng, kedua tersangka membeli bahan-bahan peledak itu dari toko pertanian di kawasan Jaten, Karanganyar. Tujuan membuat bom asap itu untuk meneror seseorang yang menjadi musuh keduanya.
Pengamat terorisme, Noor Huda Ismail mengatakan pada dasarnya Indonesia mempunyai prosedur hukum yang harus dijalankan oleh siapapun terkait aksi-aksi teror. Terkait penetapan dua orang di Solo sebagai tersangka kepemilikan bahan peledak, menurut Noor Huda, langkah yang diambil polisi sudah tepat.
Namun, untuk menentukan apakah kedua orang itu bersalah atau tidak harus melalui proses hukum berupa pengadilan. "Sama halnya dengan kasus-kasus lain, polisi menetapkan tersangka tapi yang menentukan bersalah atau tidaknya seseorang nanti pengadilan yang menentukan," katanya. (gpe/ape/lyz)