Laporan Wartawan Surya Sudarmawan
TRIBUNNEWS.COM, NGAWI - Pemerintah yang seringkali terlambat memberikan bantuan, ternyata berimbas negatif terhadap psikologis tenaga kerja Indonesia (TKI) yang menjadi korban penganiayaan di luar negeri.
Itu seperti ditunjukkan oleh Erwiana Sulistyaningsih (22), warga Desa Pucangan, Kecamatan Ngrambe, Kabupaten Ngawi, yang menjadi korban penganiayaan majikannya selama bekerja di Hong Kong.
Beruntung, anak pertama Rohmad dan Suratmi ini masih beruntung lantaran masih bisa bertemu dengan YT, di Bandara Chek Lap Kok, Hongkong. YT adalah TKI asal Kabupaten Magetan, yang mengambil cuti pulang kampung.
YT menuturkan, kondisi Erna sangat memprihatinkan. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka, sehingga tak kuat berjalan saat masuk pesawat.
Semula, Erna tidak mengakui dirinya dianiaya majikan. Korban berkilah luka yang dideritanya karena alergi kedinginan.
"Baru setelah tak kuat berjalan dan minta tolong membawakan tasnya, Mbak Erna mengaku dianiaya majikannya selama 8 bulan," terang YT, Minggu (12/1/2014).
Saat di bandara Hongkong, sejumlah petugas bandara dan polisi Hongkong sudah menyarankan agar kasus penganiayaan itu dilaporkan.
Namun, korban tetap tak mau, lantaran ingin segera bertemu keluargnya di kampung halamannya. "Saya kaget, karena dianiaya sampai separah itu, kok diam saja," imbuhnya.
Bahkan, selama perjalanan, hingga mendarat di Bandara Adi Sumarmo, Solo, Erna selalu tidur karena merasa kecapekan.
Sejumlah penumpang terpaksa minta pindah tempat duduk, karena risih dengan luka yang diderita korban.
"Saya makin kaget saat di Bandara Adi Sumarmo Solo, ketika hendak ke kamar kecil ternyata Mbak Erna memakai pampers dan hanya diberi sangu 100 dolar," urainya.