TRIBUNNEWS.COM, PEMALANG - Hujan abu yang turun ke wilayah Desa Gambuhan, Pulosari, Kabupaten Pemalang menimbulkan kecemasan warga setempat. Setidaknya ini dialami Sriyati (40), yang kemarin mengamati kolom asap hitam, lalu melihat hujan abu tipis.
"Waktu itu hujan deras, pas hujan reda kan saya mau ke rumah tetangga, kok baju saya kotor kayak kena debu agak hitam warnanya," aku Sriyati. Rasa cemas Sriyati dan sejumlah warga dirasakan sejak aktivitas gunung itu naik. "Tidur nggak nyenyak, ngapa-ngapain di rumah juga gak enak, takut kalau tiba-tiba meletus," kata wanita yang kediamannya berjarak delapan kilometer dari puncak Slamet. Dari Gambuhan, pemandangan puncak Slamet teramati cukup jelas.
Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Slamet di Gambuhan, Sudrajat (52) menyatakan, pada Rabu (12/3) pukul 06.54, gunung api tertinggi di Jawa Tengah itu mengeluarkan abu vulkanik setinggi 800-1000 meter. Semburan material itu condong ke barat, wilayah Tegal dan Brebes.
Tetapi semburan abu itu hanya teramati singkat karena puncak tertutup kabut tebal hingga malam hari. Pemantauan akhirnya hanya menggunakan instrumen seismograf di pos. Secara visual puncak tidak terpantau. "Alat d isini hanya untuk mencatat pergerakan tanah, jadi kami tidak tahu berapa kali gunung mengelurkan abu," tambahnya.
Hingga Rabu (12/3) pukul 19.00, status Gunung Slamet masih Waspada (level II). Warga atau siapapun dilarang mendaki ke puncak, dan pada radius dua kilometer dari puncak harus steril manusia. Sudrajat mengakui semburan material terus menerus menandakan gunung itu makin meningkat aktivitasnya. Meski begitu ia menghimbau masyarakat tetap tenang dan mengikuti intruksi pemerintah setempat.
Jangan panik
Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Dr Ir Surono menjelaskan, aktivitas Gunung Slamet masih pada tahap wajar, dan ia meminta masyarakat tidak perlu panik. "Itu aktivitas yang normal. Tidak ada keterkaitan antara gunung api satu dengan lainnya. Kalau memang berkaitan, mengapa Gunung Kelud tidak menularkan aktivitasnya ke Gunung Bromo yang lebih dekat," kata Surono.
"Aktivitas Gunung Slamet tidak ada kaitannya dengan Gunung Kelud maupun Gunung Sinabung. Aktivitas gunung api tidak seperti flu yang bisa menular," tegasnya. Terkait catatan aktivitas Gunung Slamet, Mbah Rono mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Selama ini, aktivitas gunung tersebut relatif kecil karena hanya mengeluarkan material asap dan abu tanpa ada peningkatan panas atau lava. Catatan aktivitas Gunung Slamet masih di bawah Gunung Merapi yang ada di perbatasan Jawa Tengah dan DIY.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Senin (10/3) pukul 21 meningkatkan status Gunung Slamet, yang berada di wilayah Pemalang, Banyumas, Brebes, Tegal dan Purbalingga, dari Normal (level I) menjadi Waspada (level II).
Selain Gunung Slamet, ada beberapa gunung api yang berstatus waspada di berbagai daerah seperti Kelud, Raung, Ibu, Lewotobi Perempuan, Ijen, Gamkonora, Soputan, Sangeangapi, Papandayan, Dieng, Gamalama, Bromo, Semeru, Talang, Anak Krakatau, Marapi, Dukono, dan Kerinci.
Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Pengendalian Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menambahkan, frekuensi kegempaan Gunung Slamet meningkat sejak Minggu (2/3).(TribunJateng/wan/jar/ant)