TRIBUNNEWS.COM - Iweng Karsiwen, Ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) mengkritik lemahnya perlindungan pemerintah terhadap para TKI.
Banyak pekerjaan lembaga yang tidak efektif, mulai pemantauan di tempat kerja, pengawasan terhadap keselamatan, hingga pendampingan bagi mereka yang terjerat masalah.
Iweng lalu memberikan contoh paling sederhana adalah nomor call center, nomor telepon layanan yang disediakan BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia). Ini nomor yang mestinya sangat berguna.
Bisa dihubungi sewaktu-waktu bagi TKI yang ingin melapor atau maupun meminta pertolongan di situasi terdesak atau darurat.
“Sayangnya call center yang diberikan, tidak on 24 jam. Sudah begitu sulit dihubungi. Terlalu berisi banyak petunjuk. Pencet nomor ini nomor itu. Waktu habis sebelum bisa berbicara dengan petugasnya,” tegas Iweng.
TKI itu umumnya memiliki waktu yang sangat singkat. Itupun harus curi-curi waktu menelepon. Sebab, majikannya melarang mereka keluar atau berkomunikasi dengan siapapun.
Indikasi lain lemahnya perlindungan hukum terlihat selama ini, belum ada perjanjian antara Indonesia dengan negara-negara tujuan TKI tentang standar perlindungan.
“Karena tidak ada standar, peraturan hukum semata-mata mengikuti standar perlindungan hukum yang ditetapkan negara tujuan penempatan,” tutrurnya.
Pemantauan juga terkesan lemah. “Jangan heran kalau pemerintah baru tahu ada TKI yang terlibat kasus hukum di luar negeri setelah persidangan di sana berlangsung beberapa kali atau malah sudah tuntas. Jangankan pemantauan, pendampingan selama proses hukum berlangsung juga seringkali tidak ada,” lanjutnya.
Kritik serupa disampaikan Direktur Migrant Aid Indonesia, M Cholili. Menurut Cholili jerat hukum yang mendera para TKI di luar negeri terjadi karena banyak hal. Tidak pula semata karena kesalahan TKI itu sendiri.
Sebagai contoh, dalam hal pelecehan seksual di Arab Saudi, ketika seorang TKI perempuan diperkosa oleh majikan pria dan diketahui oleh istri sang majikan, maka yang disalahkan adalah TKI itu sendiri.
Korban akan dituduh melakukan perzinahan, sementara sang majikan pria yang melakukan pemerkosaan, bisa dengan mudah terhindar dari jeratan hukum.
Tak hanya pelecehan seksual yang membuat para TKI terjebak dalam kasus pidana. Pada beberapa kasus, perlawanan maupun pembelaan diri oleh TKI ketika diperlakukan tidak baik oleh majikannya juga bisa membuat mereka dikenai hukuman.
Umumnya ini terjadi ketika TKI diperbudak alias dipekerjakan secara tidak wajar, dikurung, serta dianiaya. “Tidak sedikit TKI yang akhirnya membunuh majikan karena diperlakukan kasar.
Intinya, banyak relasi-relasi mikro antara majikan dengan TKI yang tidak berimbang. Tetapi harus diakui kalau juga ada kasus pidana yang menjerat TKI di luar negeri yang disebabkan oleh kesalahan TKI itu sendiri,” imbuhnya. (Surya/idl/st32/ben)