TRIBUNNEWS.COM - Kehadiran penerjemah bernama Aziz menambah petaka. Pria keturuan Indonesia ini telah menipunya.
Mulai dari merayu agar mengakui sebagai pembunuh hingga membelokkan keterangan yang diberikan Zaini dalam pemeriksaan polisi.
Dari awal Zaini sudah curiga. Ia diminta mengisi formulir permohonan agar didampingi penerjemah. Padahal Zaini tidak butuh.
Ia merasa sudah cukup mengerti bahasa Arab yang digunakan dalam pemeriksaan.
Tapi Zaini tidak bisa menolak lantaran polisi menyatakan bahasa Arab Zaini kurang fasih. Kecurigaan Zaini akhirnya terbukti. Penerjemah itu bukannya memudahkan, tapi justru membelitnya.
Penerjemah bernama Aziz berkali-kali merayunya agar Zaini mengaku membunuh juragannya. Aziz memberikan jaminan, Zaini tidak akan lama di tahanan.
Aziz berjanji membantu pembebasan Zaini. Paling lama dua minggu. Iming-iming itu membuatnya luruh. Apalagi, ia juga sudah tidak kuat menahan tekanan (pressure) polisi.
”Saya akhirnya nurut karena ingin bebas. Saat itu saya benar-benar bingung,” kenangnya.
Selama pemeriksaan oleh polisi, Aziz berkali-kali salah menerjemahkan maksud Zaini.
Beberapa pertanyaan polisi yang mengarah pada tuduhan pembunuhan, seolah diiyakan Azis.
Zaini mengerti ucapan Aziz namun dia tidak berdaya membantah. Takut disiksa menjadi alasan Zaini untuk diam.
Setelah pemeriksaan tuntas, Zaini masih berharap bisa bebas sesuai yang dijanjikan Azis. Namun, hari berganti sampai tahun bergulir, Azis tak juga menepati janjinya.
”Saya tertipu. Namun saya menyesal meskipun sudah melaporkan ke KJRI tetapi Azis tak ditindak,” sesalnya.
Zaini mengaku bukan pembunuh majikannya. Pengakuan itu juga sudah berulang kali dia sampaikan kepada anak istrinya.
Zaini bersumpah kepada mereka. Keluarga Zaini pun percaya ayah mereka bukan pembunuh.
“Saya juga yakin, pengadilan Arab akan percaya saya. Sayangnya sidang belum pernah digelar,” katanya.
Menurut Zaini berkas pemeriksaan polisi hingga kini belum bisa disidangkan.
Pengadilan terus menolak menyidangkan karena bukti-bukti dan saksi kurang lengkap.
“Yang saya dengar, sudah beberapa kali (berkasnya) diajukan. Tapi ditolak pengadilan,” tuturnya.
Tentang kematian majikannya, Zaini menceritakan, di rumah majikannya ada tiga anak dan istri Abdullah.
Keluarga ini sudah lama tidak rukun. Masalahnya klasik, urusan warisan. Tak jarang ketika membahas warisan, mereka bertengkar hebat.
Zaini tidak mau berandai-andai apakah kematian Abdullah karena adanya perselisihan warisan dengan keluarganya.
Namun menurut dia, urusan warisan itulah yang membuat keluarga majikannya pecah. ”Saya tidak yakin karena warisan. Tetapi mungkin saja,” katanya.
Dari keterangan polisi, dia tahu penyebab kematian Abdullah adalah pukulan benda tumpul. Namun, dia tidak melihat langsung mayat Abdullah saat tergelak di rumahnya.
Menurut Zaini, tuduhan polisi jatuh padanya, karena polisi berdalih menemukan sidik jarinya menempel pada gagang pintu rumah.
Pada 2010, Zaini pernah dipertemukan ahli waris Abdullah. Bagi Zaini, momen itu adalah kesempatan untuk menunjukkan, bahwa bukan dia pelakunya.
Namun, tidak satupun keluarga Abdullah yang mengeluarkan suara. Polisi melarang mereka menjawab ucapan dan permintaan maaf dari Zaini.