TRIBUNNEWS.COM - Lamongan, Jawa Timur, termasuk daerah di Jatim yang menjadi penyuplai terbesar tenaga kerja Indonesia (TKI), utamanya untuk TKI Malaysia. Ada puluhan ribu warga Lamongan yang hilir mudik bekerja di luar negeri.
Tetapi mereka yang tercatat sebagai TKI resmi di Kantor Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans), hanyalah ratusan nama. Kongkretnya 245 orang, tersebar di lima negara.
“Dinas hanya bisa memantau TKI yang kepergiannya tercatat. Mereka ini yang melalui jalur resmi,” kata Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Imam Tresno Edy.
Sampai kini, Dinsosnakertrans kesulitan mengetahui berapa persis jumlah warga Lamongan yang menjadi TKI.
Dinas ini kesulitan memantau para perantau ke mancanegara. Mereka baru melapor atau mengadukan keberadaannya jika muncul masalah, misalnya terlilit perkara hukum.
“Kalau sudah begitu, negara dan kami-kami ini yang disalahkan. Dianggap kurang perhatian dan sebagainya,” tuturnya.
Saat ini, Mariyanto, TKI asal Sidomukti, Brondong, Lamongan, terancam hukuman mati di Malaysia.
Ia divonis mati dalam perkara perkelahian hingga menyebabkan meninggalnya seorang TKI, juga asal Jatim.
Nasib Mariyanto kini menunggu hasil banding. Ia diduga berangkat ke negeri jiran tidak melalui jalur Dinsosnakertrans.
Imam Tresno Edy menegaskan, Dinsosnakertrans Lamongan selama ini menyiapkan berbagai program pelatihan untuk para calon TKI. Tetapi, program ini tidak bisa dimanfaatkan maksimal oleh para calon TKI.
Sebab, umumnya mereka direkrut Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTIS) dan dilatih sendiri oleh perusahaan itu.
“Kecil sekali yang berangkat dengan rekomendasi pemerintah (Dinsosnakertrans),” katanya.
Ia lalu memberi contoh Kecamatan Solokuro dan Paciran yang selama ini diketahui banyak penduduk laki-lakinya yang menjadi TKI di Malaysia. Di Dinsosnakertrans ternyata hanya tercatat sebanyak 200 orang.
Bagi warga di dua kecamatan itu, Malaysia menjadi kampung halaman kedua. Bekerja di sana tak ubahnya dengan bekerja di Surabaya atau Jakarta, yang bisa pulang pergi dalam hitungan hari.
Imam mengaku tidak tahu persis visa yang mereka gunakan, apakah kunjungan atau bekerja.
Tapi, melihat banyaknya TKI yang dideportasi dari sejumlah negara, itu berarti mereka tidak resmi.
”Visa pelancong, tapi begitu sudah tiba di negara tujuan untuk bekerja dan tidak mau pulang,” tandasnya.
Imam berharap kedepan TKI Lamongan berangkat melalui jalur resmi sehingga lebih aman di negara tujuan.
Ditambahkan, pihaknya tak henti-hentinya menyosialisasikan cara menjadi TKI yang nyaman dan aman melalui jalur resmi.
Sosialisasi dilakukan hingga ke desa-desa kantong TKI. Penjelasan Dinsosnakertrans itu diamini Sukiran Kepala Desa Sidomukto, Kecamatan Brondong, asal TKI tervonis mati, Mariyanto.
Sukiran dan warga desanya sudah lama tahu kasus yang menjerat Mariyanto. ”Tapi, kami dari pihak desa tidak bisa berbuat apa-apa,” katanya.
Sukiran juga mengakui banyak warga desanya yang menjadi TKI tanpa tercatat di Dinsosnaker.
Warga Sidomukti yang berangkat menjadi TKI kebanyakan melalui jalur belakang.
“Ini sudah biasa dilakukan warga Sidomukti. Baru setahun terakhir ini saja calon TKI itu tertib,” ungkapnya. Sukiran hanya bisa memperkirakan ada sekitar 1.000 orang warga Desa Sidomukti menjadi TKI.
Tapi, ia tidak mempunyai data riil yang tertulis di balai desa. ”Orang sini ada yang dua bulan sekali pulang pergi ke Malaysia,” katanya. (Surya/ridl/st36)