TRIBUNNEWS.COM,JEMBER - Sebagai sentra pertanian pangan di Jawa Timur, Kabupaten Jember memiliki sejumlah komoditas pertanian unggulan. Ketika disebut beras, ingatan akan merujuk kepada kabupaten berjarak 200 Kilometer dari pusat ibukota Provinsi Jatim, Surabaya tersebut.
Selain beras, komoditas pertanian yang menonjol adalah cabe. Jember menjadi kawasan lima besar sentra penghasil cabe di Jatim.
Kebetulan juga, dua komoditas itu merupakan komoditas pokok orang Indonesia. Cabe tidak masuk dalam komponen Sembako, namun pencecap rasa orang Indonesia akan protes jika masakannya tidak ada rasa pedas yang dihasilkan cabe. Sehingga bisa dibilang, cabe juga masuk dalam kebutuhan pokok yang harus ada di dapur orang Indonesia.
Di sisi lain, dua komoditas ini juga yang juga bisa memicu inflasi. Sehingga tidak aneh, Bank Indonesia yang bertugas memelototi inflasi di tanah air, harus mewaspadai pergerakan harga dua komoditas itu.
Untuk mengendalikan inflasi, ada sejumlah cara dilakukan BI. Salah satu cara yang saat ini digalakkan adalah pengembangan klaster. BI Wilayah Jember yang memiliki wilayah kerja Lumajang, Jember, Banyuwangi, Situbondo, dan Bondowoso, terbilang cukup banyak memiliki klaster.
Klaster merupakan bentuk kerjasama dan binaan BI dengan sejumlah kelompok atau petani yang berkecimpung di komoditas tertentu. BI Jember telah memiliki klaster kopi, beras organik, padi, sapi perah, dan terbaru adalah klaster cabe segar. Ada tiga tujuan pembentukan klaster yakni ketahanan pangan, orientasi ekspor, dan inklusi harga.
Ketahanan pangan itu untuk menjaga posisi pasokan, harga dan buntut-buntutnya inflasi.
Sedangkan orientasi ekspor pastinya untuk menambah cadangan devisa.
"Juga untuk inklusi keuangan. Karena klaster ini menggandeng UMKM, kelompok tani, juga petani, tentu akan dikenalkan transaksi dan tata kelola keuangan, juga perbankan," ujar Deputi Pemimpin Bank Indonesia Jember Dwi Suslamanto kepada Surya(Tribunnews.com Network) , Rabu (15/10/2014) Klaster kopi di Bondowoso mengawali program klaster di BI Jember.
Klaster kopi arabika dan robusta tersebut kini telah diikuti oleh 1.261 petani dan 37 kelompok tani / unit pengolah sipil.
Bahkan kopi binaan BI dan sejumlah instansi tersebut telah diekspor dalam bentuk
coffee bean (OC).
37 UPH itu juga melayani kopi bubuk untuk pasar lokal. Kemudian klaster beras organik. BI membangun klaster untuk komoditas ini di sejumlah kabupaten yakni Lumajang, Bondowoso, Banyuwangi, dan akan menyusul di Jember.
Untuk di Banyuwangi, beras organik yang dikembangkan tidak hanya putih namun juga merah dan hitam.
Klaster beras organik di Lumajang melibatkan 334 orang petani dan tiga kelompok tani, sedangkan di Bondowoso melibatkan 80 orang petani dan dua kelompok tani, sedangkan di Banyuwangi melibatkan 80 orang petani.
Tahun depan rencananya akan ada tambahan klaster beras organik di Jember. Kepala Seksi Penyuluhan Dinas Pertanian Jember Luluk Herman mengatakan Jember siap membentuk klaster tersebut.
"Karena di Jember ini sudah lama ada kelompok tani yang menanam beras organik.
Bahkan sudah punya nama di Rowosari Kecamatan Sumberbaru," ujar Luluk.
Beras organik di kecamatan tersebut ditanam di areal 25 hektare baik beras putih, merah, hitam dan cokelat. Hasil per hektarenya mencapai 5 - 6 ton.
Luluk mengklaim beras organik asal Jember berkualitas bagus dan sudah mengantongi sertifikat.
"Hanya memang packagingnya kurang bagus. Belum memiliki teknik vacum yang itu bisa membuat awet beras organik segar sampai tiga bulan. Kalau tidak di-vacum hanya kuat beberapa minggu. Disinilah kami harapkan petan BI melalui klaster agar promosi beras organik Jember makin bagus," ujar Luluk.
Pasar beras organik Jember sudah sampai ke Pasuruan, Surabaya, dan Banyuwangi, selain di sejumlah supermarket di Jember. Rencananya BI Jember akan membentuk klaster ini tahun 2015.
Sedangkan yang terakhir terbentuk adalah klaster cabe segar. Klaster ini diinisiasi sejak tahun 2013 dan terbentuk tahun ini.
Dalam panen perdana akhir Agustus lalu, Pimpinan BI Wilayah IV Jember Dwi Pranoto ikut memanen cabe merah besar di klaster BI Jember bekerjasama dengan petani di Kecamatan Wuluhan.
BI Jember juga merasa perlu mengembangkan klaster cabe karena komoditas inilah yang kerap memicu inflasi di Jember. Meskipun sebagai daerah penghasil, harga di pasaran kerap kali melambung.
"Cabe ini komoditas rapuh, harganya naik turun dan barangnya juga tidak tahan lama. Sehingga kami merasa klaster ini perlu untuk ketahanan pangan," imbuh Dwi Suslamanto.
Luasan klaster itu 2,5 Ha yang digunakan untuk 1,5 Ha tanaman cabe merah besar dan 1 Ha untuk cabe rawit. Cabe merah besar itu dijual kepada mitra yakni PT Heinz ABC.
"Dan cabenya organik. Tujuannya juga untuk pengendalian harga," ujar Edy Suryanto, petani cabe asal Wuluhan yang bermitra dengan BI Jember.
Hal itu dibuktikan dalam operasi pasar cabe yang dilakukan sebelum bulan puasa 2014. Ketika terjadi kenaikan harga cabe, petani dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Jember menggelar OP cabe sebanyak 1,5 ton hanya di satu pasar. Dan cabe sebanyak itu ludes dalam waktu tidak lebih 30 menit.
"Padahal kami jual Rp 5 ribu untuk cabe rawit yang diluaran sudah Rp 17 ribu, dan harga cabe merah besar Rp 10 ribu padahal harga di pasaran sudah Rp 27 ribu. Kami tetap untung, dan harga di pasar akhirnya cukup terkendali," kata Edy.
Begitu pun ketika sebelum hari raya Idul Adha Oktober 2014. Karena terjadi gejolak harga cabe, ia membawa cabenya ke tiga kota besar di Indonesia yakni Bukittinggi, Bandung, dan Cirebon.
Ia menggelontor cabe di tiga kota itu selama seminggu. Setiap hari ia membawa 20 ton cabe. Ia membeli cabe merah besar dari petani Rp 20 ribu dan dijual seharga Rp 23 ribu.
"Itu dampaknya luar biasa. Selama seminggu harga cabe di pasaran turun. Di Jakarta dari Rp 50 ribu turun menjadi Rp 20 ribu, setelah kami melakukan gelontoran cabe tersebut," kata Edy.
Cabe yang digelontorkan itu selain cabe hasil kerjasama dengan BI, juga cabe-cabe yang dibeli dari petani yang tergabung di Kelompok Tani Lestari yang diketuai Edy Suryanto.