TRIBUNNEWS.COM,MALANG - Petani di Malang selatan, khususnya Gondanglegi tidak punya pilihan.
Mereka harus tetap menanam tebu, sekalipun tahun ini bernasib buntung.
Wilayah ini dianggap sebagai lahan terbaik untuk menghasilkan tebu berkualitas tinggi.
Lagi pula kondisi lahan, yang mayoritas berupa lahan kering, juga akan merepotkan bila petani menyemai tanaman lain.
Petani tebu asal Pringu, Kecamatan Wajak, Hari Istiawan (34) mengatakan, tebu terbilang tanaman yang paling tidak merepotkan untuk kondisi lahan pertanian di kampungnya.
Tanaman ini hanya butuh pemupukan, dan menyiangi rumput serta tunas berlebih.
Tebu tidak butuh disiram, seperti tanaman palawija lain. Kebutuhan air tanaman ini sepenuhnya tergantung pada curah hujan.
Setelah itu tanaman tebu tidak lagi butuh perawatan. Petani tinggal menunggu panen. Umumnya tebu dipanen saat berumur sekitar satu tahun.
”Kalau sistem irigasinya bagus, petani disini tentu pingin juga menanam padi. Tapi kalau sekarang ini, tebu menjadi pilihan terbaik,” ujar Hari, Rabu (15/10/2014).
Kondisi lahan itu pula, yang membuat mereka tetap belum berpikir pindah tanaman, sekalipun tahun ini menamam tebu benar-benar terasa pahit. Harga gula rusak.
Kondisi ini terbalik dibanding dua atau tiga tahun lalu. Ketika itu tebu cukup menjanjikan.
Setiap hektare sawah, petani bisa memetik keuntungan Rp 40 juta hingga Rp 45 juta.
“Sekarang bisa dapat tinggal Rp 20 juta per hektare sudah bagus,” katanya.
Selain itu, saat tebu siap panen petani juga sulit mendapatkan surat perintah tebang dan angkut (SPTA).