News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Perawatan Jubah Peninggalan Pangeran Diponegoro Memprihatinkan

Editor: Budi Prasetyo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Petugas museum Bakorwil II menunjukkan jubah kebesaran Pangeran Diponegoro yang dipakai semasa perang sabil tahun 1825-1830. Foto diambil Senin (9/2/2015).

Laporan Reporter Tribun Jogja, Agung Ismiyanto

TRIBUNNEWS..COM, MAGELANG - Keturunan Pangeran Diponegoro mengaku prihatin dengan sistem perawatan jubah Pangeran Diponegoro yang saat ini masih disimpan di museum Bakorwil II Kota Magelang. Pasalnya, perawatan jubah bersejarah itu terkesan kurang optimal dan berpotensi menyebabkan kerusakan atau pelapukan.

Hal itu diungkapkan oleh Ki Roni Sodewo, salah satu keturunan ke tujuh dari Diponegoro yang bermukim di Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dia menyebut, perawatan yang saat ini dilakukan masih belum memenuhi standar.

“Saat ini khan masih menggunakan kapur barus dan digantung di lemari. Ini sangat mudah lapuk dan menyebabkan cepat rusak,” ujarnya saat ditemui Tribun Jogja di Pameran Magelang Tempo Doeloe, kemarin.

Misteri yang paling banyak menjadi pertanyaan adalah bercak-bercak kecoklatan yang melekat di jubah kebesaran itu. Beberapa diantaranya ada yang berpikir bahwa bercak itu adalah diduga bercak bekas darah saat Diponegoro memimpin perang Jawa atau Sabil dalam kurun waktu 1825 hingga 1830.

Jubah yang sebenarnya berwarna krem putih itu kini semakin berwarna coklat. Di beberapa bagian ada lubang dan sobekan. Seperti di bagian dada kanan, dan bagian bawah kanan dan kiri, serta bagian belakang. Meski demikian, jubah yang kerap dikenakan Diponegoro itu seolah hidup karena nilai sejarahnya yang cukup tinggi.

Dari keterangan, jubah itu merupakan pemberian dari seorang kaisar China. Berbahan kain santung, jubah itu kemudian dikenakan Diponegoro memimpin perang sabil yang diawali tanggal 20 Juli 1985. Dari sumber referensi lain, kala itu, Diponegoro selalu berpakaian layaknya pemuka perang Sabil, bergaya Arab. Yakni, mengenakan surban, jubah, dan baju putih. Busana ini mungkin saja diusulkan oleh penasehat Arabnya, Syeh Ahmad Al-Ansari yang berasal dari Jeddah.

Kisah di balik jubah berumur ratusan tahun itu juga menarik. Dari referensi itu menyebut, jubah tersebut dirampas saat penyergapan oleh Mayor AV Michiels di wilayah pegunungan Gowong, sebelah barat Kedu, 11 November 1829. Setelah perang, jubah dengan tepi brokat yang konon dijahit oleh gundik Chinanya disimpan putra menantu Basah Ngabdulkamil. Selama lebih seabad keluarga Diponegoro menyimpan jubah itu dan dipinjamkan permanen pada tahun 1970-an kepada Museum Bakorwil II.

“Memang keluarga meminjamkan untuk menjadi kajian sejarah tentang Diponegoro. Selain jubah, di Bakorwil juga terdapat beberapa peninggalan Diponegoro yang perlu juga dirawat dengan baik,” paparnya.

Selain merasa prihatin dengan perawatan jubah peninggalan Diponegoro, Ki Roni juga mengaku ada banyak peninggalan Diponegoro yang dimungkinkan ada yang di tangan kolektor. Seperti keris Nogo Siluman yang dipakai pada perang Jawa, namun dimungkinkan saat ini masih berada di Eropa. Ada juga yang menyebut keris itu dimungkinkan ada di sebuah museum di Belanda.

“Harapannya, peninggalan ini bisa disatukan lagi. Sebagai bangsa yang mengerti sejarahnya, saya harap pemerintah bisa sungguh-sungguh merawatnya. Ini milik Indonesia yang harus dijaga bersama,” paparnya.

Ki Roni menjelaskan, dengan digantung berdiri di lemari, jubah yang terbuat dari kain santung itu akan mudah rusak karena faktor gravitasi. Dia pun sempat mewacanakan agar jubah yang menjadi saksi sejarah perang Jawa tahun 1825 hingga 1830 itu, dirawat di museum nasional Jakarta.

“Sebenarnya, akan lebih baik disatukan semua peninggalan Pangeran Diponegoro di Museum Nasional. Seperti tombak, tongkat Kyai Cokro, dan berbagai macam peninggalan lain. Jika memang akan dirawat di sini (Bakorwil II), perawatannya harus jauh lebih baik,” katanya.

Dari catatan Tribun Jogja, jubah berwarna kecoklatan itu nampak mencolok di balik gantungan almari ruangan bernama "Kamar Pengabadian Diponegoro". Jubah yang menurut petugas pemandu museum berukuran 162 sentimeter x 110 sentimeter itu menyimpan misteri dan perdebatan sejarah di beberapa kalangan.

Dia pun prihatin dengan lunturnya semangat anak muda yang sudah melupakan sejarah. Dia berharap ada kesadaran anak muda untuk senantiasa mempelajari sejarah bangsanya. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini