TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG- Bathi Mulyono (BM) biasa disapa sebagai Komandan oleh kalangan preman.
Iya, BM punya anggota sekitar 6.000 preman. Dia adalah tokoh paling dicari di masa 1983-an ketika marak petrus - penembakan misterius zaman Presiden Soeharto.
Anggota preman itu terdiri dari mantan napi se Jawa Tengah dan DIY, yang waktu itu tergabung dalam wadah Fajar Menyingsing, komandannya adalah BM itu sendiri.
BM sangat senang dan penuh harap takkala Presiden Jokowi membentuk Komite Rekonsiliasi untuk mengusut kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu.
“Kalau berbicara soal HAM dan pembunuhan misterius era tahun 1980-an, tidak ada duanya pasti yang dicari adalah saya. Saya orang yang paling gigih waktu itu dan berhasil selamat dari peristiwa petrus,” kata BM saat ditemui di rumahnya di Jalan Semeru, Semarang, Jumat (29/05/2015).
BM merupakan ketua Fajar Menyingsing, yang dibentuk tahun 1983 menjadi pemimpin dari kelompok preman tersebut ketika dirinya berusia 35 tahun.
Ketika gerakan Petrus mulai gencar-gencarnya pada era tahun 1983-1985, BM mencatat ada 900 kawan-kawannya meninggal secara mengenaskan.
“Ada yang ditemukan 12 peluru di tubuhnya, ada pula yang tewas karena ditembak mulutnya, mayatnya ada yang dibuang di jalan dan kebanyakan diletakkan di depan rumah korban masing-masing,” ujar lelaki asal Kampung Pekojan, Semarang Tengah tersebut.
BM berpendapat bila kawan-kawannya adalah korban kejahatan yang dilakukan oleh negara. Mereka tewas terbunuh tanpa melalui sebuah proses hukum atau peradilan.
“Saya berharap pemerintah menyelesaikan kejahatan HAM pada masa lalu bukan karena kepentingan politik dan kekuasan, namun untuk kepentingan korban. Harus diperjelas dan dipertegas bahwa ini kejahatan politik masa lalu yang dilakukan penguasa masa lalu dan tidak boleh terjadi di masa mendatang,” tambah BM.
BM berharap banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah itu tidak hanya jadi sebuah legenda yang tidak pernah tuntas.
Ia berpendapat bila keberadaan Komnas HAM diperlukan untuk Komite Rekonsiliasi. “Langkah yang diambil oleh Presiden Jokowi patut kita apresiasi bersama. Kami para korban sudah terlalu lama menunggu pengusutan ini,” ujar pria berusia 58 tahun tersebut.
Menurut pemaparan BM, dulu tahun 1965 ada istilah “Bersih Lingkungan”. Istilah tersebut merupakan kode sandi untuk ‘menyingkirkan’ orang-orang yang diduga terlibat gerakan 30S/PKI.
“Saat itu yang terjadi bukan hanya pembunuhan karakter saja tetapi pembunuhan genetik. Mereka yang dihilangkan bukan hanya yang terlibat secara langsung tetapi juga suami, istri, anak, dan kerabatnya,” ungkap BM yang pada tahun 1969 pernah direkrut jaringan intelijen oleh Ali Murtopo, Deputi Kepala BIN saat itu.