TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA – Peraturan lembaga sekolah harus berbadan hukum mulai berdampak.
Akibat Bantuan Oprasional Daerah (Bopda) semester dua tak bisa cair, beberapa Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Surabaya harus mengutang dana tabungan siswa.
“Solusi agar tetap bisa beroperasi ya dengan mencari dana pengganti. Beberapa MI harus meminjam tabungan para siswanya,” kata Ketua Kelompok Kerja Kepala Madrasah Ibtidaiyah (K3MI) Surabaya Achmad Djauhari, Kamis (8/10/2015).
Djauhari menjelaskan, ada sekitar 10 dari total 157 MI di Surabaya yang surat keputusan (SK) berbadan hukum dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) belum keluar sehingga dana Bopda semester dua tak bisa cair tepat waktu.
Solusi semacam itu bukan pertama kali ditempuh. Sebelumnya saat dana Bopda dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pencairannya telat bersamaan, sekolah sudah menerapkan solusi yang sama.
Tabungan siswa baru dikembalikan setelah dana bantuan cair. Djauhari menuding, kurangnya sosialisasi dari Dinas Pendidikan Surabaya menjadi penyebab masih ada MI yang telat mengurus status badan hukum.
Apalagi, pengurusan badan hukum beberapa MI banyak terhambat soal akta pendirian. Mayoritas MI merupakan yayasan wakaf.
“Banyak pemilik awal atau yang mewakafkan sudah meninggal. Jadi, yayasan harus memperbarui akta agar SK dari Kemenkumham bisa didapat. Dan itu butuh proses,” imbuh Djauhari.
Sekjen K3MI Surabaya Muhibudin mengakui, peraturan wajib berbadan hukum sebenarnya banyak berdampak positif. Salah satunya agar lembaga sekolah patuh terhadap proses administratif.
Hanya, ia menyayangkan sikap Dindik Surabaya yang kurang gencar menyosialisasikan. “Kami akui Dindik memfasilitasi. Tapi sosialisasinya masih kurang,” ucapnya.
K3MI terus mendorong MI yang masih dalam proses berbadan hukum agar mempercepat proses penggurusan.
K3MI sudah berkoordinasi dengan Dindik Surabaya agar diberikan waktu tenggat lebih lama untuk mengumpulkan data.