TRIBUNNEWS.COM, LUMAJANG - Meskipun baru menjalani operasi besar dan dirawat selama 17 hari di rumah sakit, Tosan, petani korban penganiayaan mafia tambang, terlihat sehat, Kamis (15/10/2015).
Ditemui SURYA.co.id dan sejumlah wartawan lain di rumahnya, bapak tiga anak itu memilih guyonan saat diwawancarai.
Aktivis penolak tambang pasir laut di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang itu bergaya pakai Bahasa Inggris.
Saat ditanya jadwal kontrol kesehatannya ke rumah sakit, dia menjawab spontan, tomorrow atau besok.
"Tomorrow Senin," selorohnya lagi. Kontan saja jawaban itu memancing tawa wartawan dan teman-temannya.
Kemudian ketika seorang wartawan televisi meminta janji untuk wawancara live, ia terdenar menjawab, "orrait-orrait. Maksudnya, alright.
Tapi ketika wartawan menggiringnya ke pertanyaan tentang peristiwa penganiayaan dirinya, Tosan menjawab "I don't like, titik".
Maksudnya ia tidak mau bercerita tentang peristiwa tragis Sabtu (26/9/2015) itu.
"Jangan pancing-pancing saya, kalau saya bilang tidak mau ya tidak, titik. Tanya yang lain saja," ujarnya.
Selain Bahasa Inggris, Tosan juga ngocol pakai bahasa Indonesia, Madura, dan Jawa.
Pada hari keduanya di rumah, Tosan sudah terlihat makin sehat. Kepada SURYA.co.id, ia mengaku kesehatannya sudah pulih 99 persen. "Kalau kemarin 70 persen, sekarang ini sudah 99 persen," ujarnya bersemangat.
Sambil duduk di sebuah kursi, Tosan menerima tamu yang datang. Kepada siapapun ia bercerita, terutama masa-masa penyembuhannya di Malang dan tentang perjuangannya.
Barulah ketika sang istri, Ati Hariyati menyuruhnya istirahat, ia baru undur diri dan tidur siang.
Sebelum beranjak tidur siang, Tosan banyak bercerita tentang rencananya setelah sembuh. Ia ingin kembali bekerja.
"Saya dulu jual beli pepaya, membeli dari pohon petani. Nah besok kalau sudah sembuh, ya saya kembali jual beli pepaya, beli daripohon petani".
"Tidak jadi kepala desa atau apapun. Tidak dengan peristiwa ini, kemudian saya ingin menjadi apa yang bukan saya dulu," ujar Tosan.
Terkait perjuangannya menolak tambang, ia menegaskan perjuangan itu akan ia teruskan. Ia tidak akan kapok dan berhenti meskipun ia menjadi korban kelompok pro tambang.
Ia mengatakan, ia bersama kawan-kawannya, terutama enam orang yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir Selok Awar-Awar, sejak lama 'menangis' (mengeluh,red).
Tangisan itu, kata Tosan, disuarakan ke sejumlah pihak mulai dari desa, kabupaten hingga ke pemerintah pusat.
"Andai tangisan kami kemarin diperhatikan, tentu tidak begini kejadiannya. Pak Salim tidak sampai meninggal dunia, saya tidak sampai begini," ujar Tosan sambil menunjukkan luka bekas operasi di perutnya.
Meskipun begitu, Tosan tetap bisa mengambil hikmah positifnya. Kini jalan raya di rumahnya kering.
Padahal ketika ada pengambilan pasir laut besar-besaran dari pesisir Pantai Watu Pecak, jalan raya di depan rumah Tosan tidak pernah kering.
Selalu basah akibat tetesan air laut. Dan itu berlangsung selama 24 jam.
Akibatnya sepeda motor milik warga desa setempat mudah rusak.
"Empat bulan, cat motor saya sudah teyengen (berkarat). Jagrak (standar) sepeda juga mrotholi karena kena air asin," imbuhnya.
Ditambah lagi, pertanian di pesisir pantai rusak berat akibat penambangan.
Petani tidak bisa memanen padi mereka karena rusak terendam air laut.
"Mereka itu menambang di tanah negara, ngambil punya negara, tentu saja harus saya lawan," imbuhnya berapi-api.
Karenanya meskipun menjadi korban penganiayaan dan nyaris meninggal dunia, Tosan bersikukuh tetap menolak tambang pasir di pesisir Desa Selok Awar-Awar.