Laporan Wartawan Serambi Indonesia Fikar W Eda
"Kopi adalah tanaman keras yang sangat manja. Layaknya manusia, tanaman kopi harus dirawat dengan sepenuh jiwa,"
KALIMAT itulah yang disampaikan seorang petani kopi, Zaini. Ibarat baru menikah Zaini selalu memanjakan tanaman kopi seperti layaknya belahan jiwanya. Istri yang harus dikasihi sepenuh hati.
Kebun kopi miliknya menghampar di ketinggian 1400 meter di atas permukaan laut. Luasnya enam hektar.
Terletak di Desa Merah Mege, Kecamatan Atu Lintang, Kabupaten Aceh Tengah. Lebih kurang 30 Km dari Takengon, ibukota kabupaten.
Kebun Zaini memang berbeda, dan ini menunjukkan bagaimana sosok dan pribadi Zaini benar-benar penuh ketulusan untuk merawat kebun kopi miliknya.
Tampilan kebun itu, tampak berbeda dibanding kebun kopi lain di kawasan tersebut, berbanjar teratur, berpangkas rapi.
Jarak tanam antarpohon 2,7 meter persegi. Lahan bersih, dan tentu saja asiri.
Menurutnya merawat kopi adalah merawat kehidupan. Merawat dengan penuh kasih sayang. Zaini kembali mengibaratkan kopi 'sosok' butuh sentuhan cinta.
"Dengan cara seperti itu, tanaman kopi akan memberikan hasil terbaik," katanya lagi.
Kopi dari kebun Zaini memang istimewa. Dalam Festival Kopi Arabica di Bali pada 2010, kopi Zaini juara pertama.
Sejak itu para tamu asing mulai bertandang ke kebun Zaini.
Zaini memproduksi kopi specialty dan bubuk kopi merek "'Wan Geldok Coffee' serta "'Rasaco.'
Kebun kopi milik Zaini juga meraih anugerah 'perawatan kopi terbaik' se Aceh Tengah, penghargaan 'petani prestasi' dari Kementerian Pertanian serta penghargaan petani pelopor dari Bappeda Aceh.
Ia juga memperoleh penghargaan penyuluh pertanian dari Kementerian Pertanian dan Perkebunan, pada perayaan 70 Indonesia di Jakarta.
Kepala Bagian Produksi Kopi Dinas Perkebunan Aceh Tengah, Ir Sulwan Amri menilai Zaini sebagai petani futuristik. Potret petani kopi Gayo masa depan yang sukses.
"Di Aceh Tengah hanya Pak Zaini yang menyediakan kebunnya sebagai pusat pelatihan budidaya kopi yang terbuka kepada publik," komentar Sulwan Amri, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala angkatan 1984.
Sebuah rumah berdinding kayu, beratap seng, dibangun di tengah kebun. Itu adalah rumah yang dihuni Zaini bersama kelurga. Istrinya, Rauda, bekerja sebagai bidan desa. Keluarga ini dikaruniai tiga anak yang beranjak dewasa.
Tak jauh dari rumah induk terdapat bangunan ukuran sedang, berisi beberapa peralatan prosesing kopi, dan sebuah balai pertemuan dengan dinding yang terbuka.
Sebuah kamar berada di pojok balai. Kamar ini sering digunakan sejumlah tamu asing yang bermalam di sana.
Zaini menyediakan peralatan tidur sederhana. Kalau tamu yang menginap ramai, Zaini mempersilakan memanfaatkan ruang balai pertemuan sebagai tempat bermalam.
Bangunan balai pertemuan--juga terbuat dari papan, dikombinasikan dengan kolam ikan di bagian bawah.
Bangunan ini juga dilengkapi fasilitas mandi cuci kakus atau MCK yang bersih.
Tapi kolam itu belum ada ikannya. Pejabat kabupaten yang pernah bertandang ke sana, menjanjikan benih ikan. Berbulan-bulan setelah kunjungan itu, benih tak juga datang.
Pada salah satu dinding balai, terbentang puisi panjang, berhiasan ilustrasi wajah Zaini. Puisi itu ditulis sendiri oleh Zaini.
Berisi gugatan dan keprihatinan nasib petani kopi Gayo yang miskin. Tak sepadan dengan gemerlap dolar yang dihasilkan minuman kopi di kafe-kafe pencakar langit.
Fasilitas MCK tambahan juga sedang dibangun sederhana. Itu untuk persiapan kedatangan 15 mahasiswa dari sebuah universitas di Taiwan.
"Mereka akan menginap beberapa hari. Makanya kita siapkan MCK-nya. Walau sederhana tapi bersih dan sehat," kata Zaini tentang pengerjaan pembangunan MCK tersebut.
Para mahasiswa Taiwan itu datang ke sana untuk belajar budidaya kopi sekaligus menikmati alam kopi yang asiri.
Hampir tiap bulan ada saja tamu yang datang ke tempat itu. Ada yang bermalam, tapi ada juga yang cuma berkunjung sehari.
Sejumlah tamu asing yang pernah datang ke ke kebun Zaini berasal dari perusahaan Starbucks, mahasiswa Taiwan, peneliti kopi dari Australia, Qatar, Jepang, Amerika, India dan sejumlah negara Eropa.
Dari dalam negeri tak terhitung jumlahnya yang mengunjungi kebun Zaini, ada petani dan penyuluh pertanian dari Simalungun, Dairi, Pakpak dan sebagainya.
Berbagai kegiatan pelatihan tentang budidaya kopi acap diselenggarakan di tempat itu, bekerjasama dengan Dinas Perkebunan Aceh Tengah dan beberapa lembaga terkait lainnya.
Kebun milik Zaini tersebut boleh jadi sangat terkenal di luar negeri, tapi tidak di dalam negeri.
Termasuk warga Aceh Tengah dan Bener Meriah, tidak mengetahui banyak tentang aktivitas di kebun kopi milik Zaini.
"Sepertinya begitu, he..he.." kata Zaini sambil tertawa.
Zaini memang menjadikan kebunnya sebagai Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Maju Bersama. Satu-satunya pusat pelatihan pertanian di Aceh Tengah.
Di tempat itu diajarkan budidaya kopi dan penanganan pasca panen serta manajemen usaha tani. Zaini sendiri sebagai tutornya, dibantu enam orang tim teknis lain dari masyarakat setempat.
Kadang ia juga mengundang tutor tamu untuk menambah wawasan petani.
"Selain petani, peserta pelatihan juga para tenaga penyuluh pertanian. Ini memang terbalik. Seharusnya tenaga penyuluh yang mendidik petani," kata Zaini mengenai aktivitas pelatihan.
Selama masa pelatihan, para peserta langsung diterjunkan dalam kebun. Tidak seperti pelatihan yang acap dilaksanakan pemerintah, melatih petani di ruang seminar hotel atau tempat pertemuan kantor.
Sejumlah satu hektar areal kebun kopi milik Zaini diperuntukkan bagi kebun penelitian Universitas Gajah Putih (UGP) Takengon. Zaini memang memiliki komitmen kuat memajukan dunia pertanian tanah Gayo dan itu harus didorong melalui jalur pendidikan.
"Petani kopi Gayo kelak harus bisa menikmati secara istimewa hasil kebunnya. Tidak seperti selama ini, petani kopi miskin papa. Yang kaya raya pedagang dan spekulannya," keluh Zaini prihatin.
Petani otodidak
Zaini adalah petani kopi otodidak (belajar tanpa jalur formal).
Pengetahuannya tentang budidaya kopi berasal dari belajar sendiri dan pengalamannya sebagai petani.
Ia ingin membagi pengetahuannya dengan sesama petani dan siapa saja yang berhasrat mendalami budidaya kopi.
Itulah antara lain alasan Zaini mendirikan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Maju Bersama.
"Petani kopi Gayo umumnya berlangsung secara turun temurun. Sementara ilmu pengetahuan terus berkembang. Inilah yang senahtiasa kita serap," kata Zaini.
Kebun miliknya saat ini mampu meningkatkan produksi menjadi 1,7 ton per tahun per hektar.
Bandingkan dengan rata-rata produksi kebun kopi milik masyarakat lainnya berkisar 500 Kg -1 ton per hektar per tahun.
Ia pun konsekwen dengan pola pertanian organik. Untuk mendukung itu, Zaini akan memelihara beberapa ekor sapi di kebunnya sebagai penghasil kompos.
"Saya sudah siapkan sedikit lahat untuk peternaka sapi," katanya seraya menunjuk lokasi yang sudah disiapkan. Lebih dari 30 batang kopi sudah ia tebang untuk kandang sapinya.
Kebunnya tak melulu berisi kopi. Ia melakukan tumpang sari dengan jeruk keprok Gayo dan terong agur. Saat mengitari kebunnya, pohon jeruk sedang berbuah lebat. Juga terong agur.
Peluang meningkatkan produksi kebun kopinya masih sangat terbuka. "Dan semua itu harus dilakukan dengan penuh perhatian dan dengan ilmu pengetahuan," katanya.
Lahir di Belang Gele, Aceh Tengah 1965. Pendidikannya SMA Pegasing.
Ia pernah bekerja sebagai penarik retribusi hasil pertanian dan perkebunan di perbatasan Aceh Tengah.
Tapi pekerjaan itu ia tinggalkan dan mencurahkan sepenuhnya kepada kebun kopi sejak 2007.
Ia lalu membuka lahan perkebunan baru di Desa Merah Meger Atu Lintang. Awalnya satu hektar.
Lalu berkembang menjadi dua hektar dan saat ini mencapai enam hektar.
Termasuk mendirian pusat pelatihan. Sampai sekarang terdapat 14 kelompok tani yang tersebar di 14 kecamatan di Aceh Tengah.
Atu Lintang adalah pemukiman transmigrasi yang pada masa konflik Aceh ditinggalkan penghuninya. Kebun milik para transmigran banyak terlantar.
Tapi Zaini melawan arus. Ia justru membuka kebun tatkala masyarakat desa di sana takut berkebun akibat imbas konflik.
Istrinya, Rauda, yang ditugaskan sebagai bidan di desa tersebut mendukung tekad suaminya.
"Tekad dan kerja keras itu akhirnya bisa dinikmati sekarang," kata Zaini.
Sejumlah organisasi lembaga swadaya masyarakat internasional seperti IOM mengucurkan bantuan dalam program Aceh Economic Development Financial Facility (AEDFF).
Zaini kini mengarahkan usaha kebunnya bukan saja sebagai pusat pelatihan kopi melainkan juga tempat percobaan dan mengembangkan wsata kebun kopi.
Beberapa varietas kopi ia tanam di kebun miliknya, di luar varietas yang sudah direkomendasikan yaitu gayo-1, gayo-2, timtim, ateng super dan lain-lain.
Kegiatan wisata kopi ia kembangkan dengan menggandeng pemerintah setempat. Tapi ia sedikit kecewa, gagasan itu ditanggapi dingin-dingin saja.
Menurutnya masih dibutuhkan sejumlah fasilitas pendukung untuk mendukung gagasan wisata kebun kopi, antara lain penginapan sederhana dan infrastruktur jalan.
"Kalau saya usahakan sendiri, tak kuat modal," ujarnya. Benar juga.(*).