News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kabut Asap

Kabut Asap di Riau Merenggut Nyawa Mereka

Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Warga dari berbagai elemen mengikuti Salat Istisqa di Halaman Mesjid Agung An Nur Pekanbaru, Senin (26/10/2015). Jemaah salat minta hujan yang dimotori oleh Polresta Pekanbaru dengan penceramah Ustad Abu Zubair tersebut beberapa diantaranya terpaksa menggunakan masker karena kabut asap yang masih menyelimuti. TRIBUN PEKANBARU/THEO RIZKY

TRIBUNNEWS.COM - Rafka Rafanda Adinata yang masih berumur 2,5 tahun belum mengerti perihal kematian ayahnya Iqbal Ali (31) pada 5 Oktober lalu.

Menurut ibundanya Nanda Febriani (28), setiap menangis dia pasti memanggil ayahnya. Karena ayahnya tidak juga muncul, tangisnya menjadi lebih panjang dari biasanya.

"Memang Rafka, anak saya yang nomor dua belum mengerti kematian ayahnya. Dia memang sangat dekat dengan ayahnya. Dari dulu, setiap menangis dia pasti memanggil ayahnya, karena semasa ayahnya hidup selalu memeluk Rafka apabila sedang menangis," ujar Nanda seusai menerima santuan berupa uang duka Rp 15 juta dari Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa di Pekanbaru, Sabtu (31/10/2015).

Nanda merupakan satu dari empat keluarga korban asap di Pekanbaru, yang menerima santunan itu.

Adapun anak sulungnya Abian Arkan, kata Nanda, hanya mengerti bahwa ayahnya tidur. Setiap malam menjelang tidur, Abian kerap bertanya mengapa ayahnya belum bangun juga.

Sedangkan putri bungsunya Bilqis Azalea yang masih berumur 11 bulan sama sekali tidak mengerti ayahnya sudah tiada.

Iqbal Ali merupakan salah seorang korban terdampak asap yang meninggal dunia di Pekanbaru awal bulan Oktober.

Pegawai honor di Kanwil Kementerian Agama Riau itu menderita penyakit asma sejak masih duduk di sekolah tingkat SMP.

Asma Iqbal kambuh disaat asap menyelubungi seluruh udara Riau sejak Agustus 2015. Pada saat menjelang kematiannya, kabut asap di Riau telah menyeruak selama berhari-hari berada dalam kondisi berbahaya.

Kisah Lutfi

Korban asap lain adalah Ramadani Lutfi (9). Ibunda almarhum Lutfi, Lili Wirmaria (34), menceritakan semasa hidup, anaknya belum pernah menderita penyakit saluran pernafasan. Bahkan dua hari sebelum meninggal, anaknya masih bercanda dengan gurunya di sekolah.

Pada tanggal 21 Oktober pagi, Lutfi masih bermain di halaman. Menjelang siang, anaknya mengaku sakit. Tubuhnya panas, demam tinggi dan muntah-muntah.

"Pada sore harinya, Lutfi tidak sadarkan diri dan kami membawanya ke Rumah Sakit Santa Maria. Hanya tiga jam di rumah sakit, dia dipanggil Yang Kuasa. Menurut dokter saluran pernafasannya mengalami gangguan dan gagal nafas, padahal dia belum pernah sakit kecuali demam dan flu semasa hidup" kata Lili.

Menurut Lili, anaknya sangat santun. Di sekolah, dia tidak suka bermain dan disenangi guru. Lutfi memiliki bakat bagus dalam ilmu keagamaan Islam.

Pada bulan puasa lalu, tutur Lili, keluarga tidak tahu bahwa Lutfi mengikuti lomba azan. Keluarga baru tahu saat Lutfi pulang membawa piala juara kedua. Dia sangat bangga menunjukkan piala itu.

"Banyak orang yang mengatakan anak kami berbudi. Namun dia cepat dipanggil Allah. Kami sudah rela, namun rasanya sakit sekali apabila mengenangnya. Kami hanya memohon agar jangan sampai Lutfi-Lutfi lain menjadi korban karena asap ini," ujar Lili sembari meneteskan air mata.

Anggriawati

Ada pula cerita pedih yang lain lain. Muhanum Anggriawati (12) juga meninggal karena asap.

Selama seminggu bocah perempuan itu mengalami batuk parah. Ia jatuh tak sadarkan diri saat sedang bermain.

Dokter di RSUD Arifin Achmad mengatakan, lendir menumpuk di tenggorokan dan paru-parunya. Kamis, 10 September 2015, Anggriawati menghembuskan nafas terakhir.

Mukhlis, orang tua Anggriawati, mengatakan uang santunan dari pemerintah tidak akan mengembalikan nyawa putri sulungnya.

Dia sangat berharap Presiden Joko Widodo membuat langkah nyata dalam menuntaskan masalah bencana asap pada masa mendatang.

"Tidak ada orangtua yang rela anaknya meninggal dunia, apalagi gara-gara asap. Kami sebagai orang tua hanya dapat meminta agar Presiden benar-benar serius. Kami berdoa agar tidak ada lagi orang tua yang merasakan duka seperti yang kami alami," kata Mukhlis.

Menurut Mukhlis, sepeningal anaknya, dia dan istrinya kerap merasakan trauma pada setiap hari Kamis. Maklum, pada hari itulah Muhanum menghadap Yang Kuasa.

"Setiap malam Kamis, istri saya selalu menangis. Setiap Kamis kami lebih banyak diam dan merenung. Kami seakan trauma hari Kamis," kata Mukhlis.(Syahnan Rangkuti)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini