Jika di asrama di berbahasa Inggris dalam pengawasan guru, dan kepala asrama, maka di Cambridge, Yusuf harus bisa dan terpaksa berbahasa Inggris.
"Jika tidak, maka mereka tak bisa hidup, tak bisa belajar, dan hanya akan jadi patung di rumah keluarga angkatnya di Inggris," kata Irianto Yossa, satu dari 8 guru pembimbing di program ini.
Di dalam bus bertingkat Scotegate, Yusuf membaur dengan profesional, staf administrasi, tukang kayu, mahasiswa, pelajar, hingga profesional menuju sekolahnya.
Hairuddin Niva Renggang, salah satu guru pembina yang ikut dalam rombongan Bosowa Home Stay 2015, menyebut Yusuf termasuk anak yang menonjol dan termasuk anak yang pemberani dan selalu punya inisiatif di sekolah.
"Kalau Fauzie memang pendiam, tapi selama di Inggris, sudah mulai berinisiatif membuka pembicaraan," kata guru konseling dari Pascasarjana Psikologi UNM itu.
Yang paling heroik, dan tak disangka oleh gurunya, Yusuf dan Fauzie bahkan rela naik sepeda untuk mencari seorang temannya yang kesasar saat pulang dari sekolah, di malam hari.
"Mereka pernah kesasar dengan tiga teman lainnya karena salah naik bus, setelah 2 jam tersesat berjamaah, mereka akhirnya tahu seluk-beluk kota Cambridge, bahkan tahu dimana toko yang menjuak indomie Goreng," kata Hairuddin (thamzil thahir)