Laporan Reporter Tribun Jogja, Kurniatul Hidayah
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Terlihat adanya kesenjangan antara regulasi undang-undang lalu lintas dengan fenomena penyedia jasa transportasi umum berbasis online seperti Gojek.
Hal tersebut yang diutarakan oleh Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr Sukamdi MSc.
"Kementrian Perhubungan mengatakan jika sepeda motor tidak boleh digunakan sebagai angkutan umum, taksi yang beroperasi mengangkut penumpang juga tidak boleh plat hitam, dan lain-lain. Itu memang ada di regulasi dan sudut pandang undang-undang itu tidak salah," tuturnya ketika dihubungi Tribun Jogja, Jumat (18/12/2015).
Ia mengimbuhkan jika bukan hanya peraturan, namun persoalan lainnya adalah pemerintah belum mampu menyediakan transportasi umum yang memadai.
Sehingga kemudian masyarakat memberikan respon terkait transportasi umum dengan mencetuskan ide jasa transportasi umum dengan model Gojek dan sejenisnya.
"Di sisi yang lain kita tidak bisa menutup mata, jika Gojek bisa menyerap tenaga kerja yang banyak. Kemunculan Gojek ini memiliki nilai positif, yakni memberikan kesempatan kerja untuk masyarakat," pungkasnya.
Menurut Sukamdi, pencabutan pelarangan Gojek sudah tepat. Namun, pada waktu yang bersamaan, ia merasa bahwa pemerintah juga harus melakukan revisi tentang undang-undang regulasi yang mengatur keberadaan mode baru transportasi seperti Gojek.
"Saya kira pada saat pemerintah membuat undang-undang lalu lintas tersebut, belum terpikirkan tentang mode baru transportasi semacam Gojek ini," ujar Sukamdi.
Ia menegaskan bahwa aturan baru harus bisa mengakomodasi perkembangan teknologi informasi.
"Buatlah pengaturan yang bertujuan untuk melindungi, jangan sampe arahnya melarang. Berikan proteksi kepada mereka yang menyediakan transportasi. Jadi sekali lagi arahnya bukan memberikan batasan-batasan, tetapi lebih ke arah proteksi," tutupnya.(*)