Laporan Wartawan Bangka Pos, Alza Munzi
TRIBUNNEWS.COM, BANGKA - Direktur Eksekutif Walhi Babel, Ratno Budi menilai pernyataan Sekretaris Perusahaan PT Timah Tbk, Agung Nugroho sebagai upaya kriminalisasi dan bersifat ancaman terhadap warga yang menolak pertambangan di laut Pulau Bangka.
Sebelumnya, Agung menyebutkan, tata kelola penambangan tidak terlepas dari UU No 4 Tahun 2009 tentang Minerba.
Pada pasal 162 tertulis setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang sah bisa dipidana dengan ancaman kurungan maksimal satu tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta.
"Ini sangat memalukan, sebagai korporasi pertambangan, kami menganggap ini jelas tidak mendidik dan sangat tidak demokratis. Kami akan konsultasikan dengan tim legal Walhi, apakah akan kita tempuh jalur somasi," kata Ratno kepada bangkapos.com, Rabu (30/12/2015).
Uday sapaan khas Ratno menambahkan, di dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 65 dan 66 menyebutkan setiap warga negara yang memperjuangkan hak atas lingkungan yang baik, tidak dapat didugat secara perdata maupun pidana.
Menurut Uday, pihak PT Timah tidak perlu menakut-nakuti masyarakat menggunakan UU No 4 Tahun 2009 tersebut.
Dia menjelaskan, Pulau Belitung tanpa pertambangan laut menjadi daerah yang maju dalam sektor pariwisata dan sebagainya.
Jika Pulau Belitung saja bisa menolak pertambangan laut, menurut Uday sangat wajar masyarakat di Pulau Bangka menginginkan kondisi yang sama.
"Apapun itu, kami akan tetap melawan pertambangan di laut Pulau Bangka. Kami tidak hanya bicara soal PT Timah saja," ungkap Uday.
Dalam pernyataan selanjutnya, Agung mewakili PT Timah Tbk menyatakan, sebanyak 70 kapal isap produksi (KIP) di Pulau Bangka tidak hanya milik perusahaan BUMN tersebut.
Sehingga, perubahan lingkungan menjadi tanggung jawab bersama.
Agung ingin keberadaan PT Timah di setiap lokasi penambangan juga ikut dirasakan masyarakat sekitar.
“Namun dalam pelaksanaannya kita ingin selalu keberadaan kita dirasakan oleh masyarakat sekitar. Sehingga kita lakukan sosialisasi tetapi bukan artinya sependapat atau tidak sependapat.
Kita tidak lakukan penambangan, sulit rasanya kalau kita mengharapkan dukungan 100 persen apalagi di zaman demokrasi saat ini. Makanya kita tidak mau berpolemik pada dukungan atau penolakan.
"Patokan kita, menunda penambangan adalah menunda pendapatan negara dan kontribusinya,” ujar Agung.